BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Jawa telah memiliki
lembaga-lembaga pendidikan sendiri. Dalam kultur Jawa pewayangan yang di
perankan dalam pentas kebudayaan turut ambil andil dalam mengantar sistim
pendidikan Indonesia khususnya di masyarakat Jawa. Wayang yang sudah ada sejak
dahulu menseritakan tentang guru yang bijaksana memberikan pelajaran bagi
murid-muridnya yang di didik agar terbentuknya masyarakat yang baik dan berbudi
pekerti yang luhur. Pada zaman pemerintahan kolonial belanda menyediakan
sekolah yang beraneka ragam badi masyarakat Yogyakarta untuk memenuhu kebutuhan
berbagai kalangan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah
tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam
berbagai macam sekolah yang di bentuk oleh pemerintah belanda terbentuklah
hubungan-hubungan sehinggaterdapat suatu sisitem yang menunjukan kedaulatan
pendidikan dalam satu peraturan yang di atur oleh pemerintah belanda.
Pendidikan bagi masyarakat umum di Yogyakarta mula-mula masih minim, dan itupun
yang mendapatkan layaknya pendidikan adalah dari kalangan elite bangsawan saja.
Lahirnya suatu pendidikan di D.I Yogyakarta bukanlah hasil dari perencanaan
menyeluruh malainkan langkah demi langkah melalui eksperimen dan percobaan oleh
pemerintah belanda untuk membentuk masyarakat Yogyakarta yang kompeten dalam
bidangnya, dikarenakan pemerintah belanda untuk mencetak masyarakat yang dapat
megisi pundi-pundi pemerintahan dan industry untuk kepentingan pemerintah
belanda. Dalam makalah kami akan mencoba untuk menerangkan apa alasannya orang
belanda mendidikan sekolah bagi masyarakat Yogyakarta? Apakah aliran
politik-aliran politik untuk memajukan di pemerintahan belanda? Mengapa
pemerintah belanda lebih melayani pendidikan bagi anak bangsawan dan anak-anak
benda? Mengapa belanda tidak terlalu memfokuskan pendiaiakan bagi rakyat
Yogyakarta pada umumnya? Hal imilah yang akan kami berusaha mengulasnya menjadi
karya ilmiyah yang sudah kami kuasai dan kami kaji bersama. [1]
BAB II
1) PENGANTAR PERUBAHAN SOSIAL DAN
KEBUDAYAAN
Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan sosial, sebab
kehidupan sosial adalah dinamis. Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala
kehidupan sosial sehingga perubahan sosial merupakan gejala kehidupan yang
normal. Perubahan sosial tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi, sebab
perubahan ini mengakibatkan ini mengakibatkan perubahan di dektor lain. Ini
berarti perubahan sosial selalu manjalar ke berbagai bidang-bidang lainnya.
Gejala perubahan sosial itu dapat dilihat dari sistem nilai maupun
norma yang pada suatu saat berlaku akan tetapi di saat lain tidak berlaku, atau
suatu peradaban yang sudah tidak sesuai dengan peradaban masa kini. Suatu
contoh perubahan sisitim pendidikan masa sebelum datangnya Belanda ke
Yogyakarta dengan majunya sisitim pendidikan pesantren di tanah jawa, namun
dengan hadirnya penddikan Belanda yang mengadopsi kurikulum belanda yang lebih modern
berangsur-angsur pesantren semakin kalah bersaing dengan sekolah belanda.
Contoh lain dengan kebiasaan masyarakat keseharian yang biasanya berladang dan
menggembala ternak, dengan hadirnya lembaga pesantren dan sekolah belanda, maka
otomatis pola hidup masyarakat lebih condong pada keterikatan dengan belajar
dan belajar.[2]
1)
Perubahan Sosial dan kebudayaan Menurut Para Ahli
a.
Pendapat Ahli Sosiolog Mengenai Batasan Perubahan Sosial
Ø William ogburn berpendapat bahwa batasan lingkup perubahan sosial, mencakup
unsur-unsur baik yang bersifat materiil maupun yang sifatnya bukan materill (immaterial)
dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang materill
terhadap unsur-unsur immaterill.
Ø Selo soemardjan berpendapat perubahan sosial adalah segala perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi
sisitem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola
peri kelakuan di Antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ø Hans Garth dan C. Writght Mils mendefinisikan perubahan sosial adalah, apa pun yang terjadi kemunculan,
perkembangan, dan kemunduran , dalam kurun waktu tertentu terhadap peran
lembaga atau tatanan yang meliputi struktur sosial.[3]
b.
Teri-Teori Perubahan Sosial
Secara garis besar, perubahan sosial
di pengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu
sendiri. Di Antara faktor yang berasal dari dalam masyarakat seperti perubahan
seperti kondisi ekonomi, sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Adapun yang berasal dari luar masyarakat biasanya ialah yang terjadi
di luar perencanaan manusia seperti
bencana alam.[4]
a)
Perubahan Sosial Secara Lambat
Perubahan sosial dapat dikatakan terjadi secara lambat hanya apapun
bila dilihat dari waktunya. Biasanya waktu perubahan ini terjadi secara lambat
yang di tunjukkan oleh sikap dan prilaku masyarakat yang menyesuaikan dirinya
dengan adanya perubahan sosial sesuai dengan keperluan, keadaan dan kondisi
yang baru dan sejalan dengan adanya proses pertumbuhan. [5]
(elly) Contoh apa yang terjadi di masyarakat Yogyakarta dengan lambannya proses
penyesuaian sistim pendidikan yang di terapkan oleh belanda dengan adanya
peraturan bahasa belanda sebagai syarat di terimanya bekerja di perusahaan dan
birokrasi belanda dan manjadi acuan syarat lulus dalam pendidikan. [6]
b)
Perubahan Sosial Secara Cepat
Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau
dasar-dasar pokok dari kehidupan masyarakat yaitu lembaga-lembaga
kemasyarakatan lazimnya di namakan revolusi. Unsur-unsur pokok dari revolusi
yaitu adanya perubahan secara cepat pada sendi-sendi atau dasar-dasar pokok
dari kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi perubahan-perubahan yang terjadi
dapat direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi perencnaan.[7]
Contoh perubahan sosial secara cepat adalah adanya penggeseran lembaga sekolah
Islam ke sekolah umum di masa Hindia-Belanda dalam hal ini pola masyarakat
dengan cepat menyesuaikan dengan cepat, terutama dari anak-anak kalangan Bangsawan.
[8]
2)
Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Sosial
Pada dasarnya tidak ada satu pun manusia normal kehidupannya yang
merasa kepuasan terhadap apa yang ada pada saat itu. Ketidakpuasan ini di
dorong oleh keinginan hidup yang lebih mudah, lebih mapan, lebih baik dan
sebagainya. Keinginan ini mendorong manusia untuk mencari sara atau metode
penyelesaian sebagaimana yang diinginkan. Faktor-faktor penyebab perubahan
sosial ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu 1. Faktor dari masyarakat itu
sendiri (faktor internal) dan (2) faktor
yang berasal dari luar masyarakat.[9]
a.
Bertanbah dan Berkurangnya Penduduk
Bertambah dan berkurangnya penduduk menjadi faktor dalam perubahan
sosial dalam masyarakat, dengan bertambahnya masyarakat dapat mempengaruhi pola
keadaan lingkungan seperti dalam dunia pendidikan di masa hindia Belanda,
dengan bertambahnya penduduk di suatu desa maka mau tidak mau Belanda juga
membangun sekolah di Kota maupun Desa, karena tuntutan masyarakat yang sudah
mulai berangsur sadar akan pendidikan, walaupun tidak semua masyarakat belum
memahami apa itu pendidikan.[10] Namun
mulai sadarnya masyarakat, apabila dengan bersekolah hal itu akan mempengaruhi
pola kehidupannya di masa yang akan datang, dengan mudahnya apabila masyarakat
dapat bekerja di perusahaan dan birokrasi di Belanda. Berkurangnya penduduk
juga dapat berpengaruh pada posisi lembaga pendidikan, apabila masyarakat nya
banyak maka tidak akan menutup kemungkinan lembaga pendidikan akan berjamuran
mulai dari tingkat Kota hingga di Desa, seperti yang sudah di terapkan oleh
pemerintah kolonial Belanda.[11]
(UGM)
3)
Faktor-faktor yang Menjadi Penghambat Jalannya Perubahan Sosial
a)
Perkembangan Ilmu
Pengetahuan yang Terlambat
Ada beberapa hal yang menyebabkan keterlambatan dalam ilmu
pengetahuan, diantaranya ialah disebabkan karena terisolasinya kehidupan
masyarakat ini atau juga keterlambatan karena keadaan masyarakat tersebut
dijajah oleh bangsa asing. Kebodohan masyarakat yang dialami oleh masyarakat
terjajah biasanya kebodohan yang bersifat structural, yaitu sebagai akibat dari
proses pembodohan. Proses ini sengaja di ciptakan oleh penjajah, sebab kemajuan
ilmu pengetahuan di masyarakat terjajah akan menimbulkan berbagai pergerakan
yang menentang segala bentuk penjajahan
atas nama kemanusiaan dan hak asasi manusia. Pergerakan-pergerakan yang
benikian ini biasanya akan menimbulkan berbagai macam kesulitan bagi para
penjajah, sehingga untuk memperlancar proses penjajahan ini, penjajah melakukan
segala hal yang berkenaan dengan proses pembendungan akan hal-hal yang
berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat
jajahannya.[12]
Contoh yang dapat kami kaji dari buku pendidikan di Yogyakarta adalah bahwa
pemerintah kolonial dengan ini membatasi murid untuk masuk ke dalam sekolah
umum, dan dalam leb]mbaga pendidikan formal ini para pelajar hanya di perkenan
kan untuk sekolah dari kalangan kaum bangsawan dan elite pejabat kerajaan.
Sedangkan masyarakat biasa hanya belajar di pesantren dan sebagian besar dari
mereka hanya bertani dan menggembalakan ternak, yang hal ini ketidak meratanya
ilmu pengetahuan di masyarakat Yogyakarta pada saat itu. Yang menimbulkan
kesenjangan dan kecemburuan sosial di masyarakat yang mendapatkan pendidikan
formal lebih unggul ketimbang pendidikan non formal. Dan hal ini berakibat pada
masyarakat tidak seimbang akan pemahaman ilmu pengetahuan.[13]
b)
Sikap Masyarakat yang Tradisional
Sikap tradisional suatu masyarakat yang menjadi faktor penghalang
terjadinya perubahan kebanyakan berasal dari masyarakat konservativ. Lawan dari
sikap konservatif adalah radikal. Kaum konservatif selalu diartikan sebagai
kelompok yang mengagung-agungkan kebudayaan masa lampau yang dianggap memiliki
sifat adiluhung, mulia, patut. Layak. Sehingga keberadaan kebudayaan ini harus
dipertahankan oleh masyarakat tersebut, sebagai wujug perjuangan harga mati.
Siapapun orang yang hendak melakukan perubahan akan dianggap sebagai bentuk
penyimpangan. golongan masyarakat konservatif ini biasanya erakar kuat di dalam
struktur masyarakat ffeudal masyarakat feudal biasanya bersikap tidak
kooperatif terhadap perubahan, sebab perubahan akan dianggap sebagai bentuk
pergeseran nilai-nilai feodalisme, sehingga akan sangat berpotensi juga dalam
menggeser posisi mereka termasuk status dan perannya di dalam masyarakat.[14]
Contoh pada perubahab sisitim pendidikan yang di berikan oleh belanda pada
masyarkat Yogyakarta, hal ini tidak halnya dengan lembaga pendidikan pesantre
dan madrasah yang padasaat itu masih mempertahankan kebudayaan masa lampau,
dengan tidak menerima dan tidak menyesuaikan dengan sistem lembaga pendidikan
modern belanda maka lembaga tradisional seperti pesantren akan berangsur-angsur
lenyap di makan persaingan global pada saat itu, dan dapat berakibat larinya
masyarakat dalam pendidikan yang lebih modern yang di tawarka oleh Belanda.[15]
c)
Prasangka Terhadap Hal-Hal yang Baru/Sikap yang Tertutup
Sikap yang demikian itu banyak di jumpai pada masyarakat yang pernah di jajah bangsa-bangsa barat.
Mereka sangat mencurigai suatu yang datang dari barat karena mereka tidak bisa
melupakan pengalama pahit selama di jajah . kebetulan unsur-unsur banyak
berasal dari barat, sehingga prasangka kian besar lantaran khawatir bahwa
melalui unsur-unsur tersebut penjajah dapat masuk kembali ke tanah air mereka.[16]
contoh dalam prasangka terhadap sistim pendidikan barat adalah dari kalangan
anak muda ang mereka lebih pro pada pendidikan pesantren karena mereka lebih
setia pada guru mereka ketimbang pada lembaga pendidikan belanda yang mereka
anggap sebagai lembaga orang-orang kafir dan penjajah. Ada hal lain yang
menjadi faktor tertutupnya kelembagaan pesantren terhadap kurikulum barat,
Karena mereka khawatir apabila mencampur adukkan islam dengan pendidikan Belanda
yang notabene pendidikan umum, bereka beranggapan dari kalangan pesantren hal
ini dapat merusak kemurnian pesantren dan kurikulum pesantren, namun praktiknya
akhirnya karena tuntutan persaingan mau tidak mau lembaga pesantren dan
madrasah harus mengikuti kurikulum sekolah umum kerena dapat menurunkan minat
masyarakat untuk sekalah di non formal, seperti halnya sekolah umum belanda
yang semakin hari senakin besar peminatnya di kalangan masyarakat Yogyakarta.[17]
d)
Adat/Kebiasaan
Adat dan kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota
masyarakat di salam memenuhi segala kebutuhan pokoknya. Apalagikemudian
ternyata pola-pola perilaku tersebut efektif lagi di dalam memenuhi kebutuhan
pokok krisis akan muncul. Mungkin adat atau kebiasaan yang mencakup bidang
kepercayaan, sistem mata pencarian , pembuatan rumah, cara berpakaian tertentu
begitu kokoh sehingga sukar untuk di ubah misalnya pada sisti madrasah tidak
mengenal adanya bangku. Buku dan meja. Mereka lebih pada belajar secara lisan
dan mendengarkan sang gurunya.[18]
4)
Factor-Faktor yang Mendorong Jalannya Proses Perubahan
Di dalam masyarakat di mana terjadi suatu proses perubahan terdapat
faktor-faktor yang mendotang jalannya perubahan yang terjadi. Faktor-faktor
tersebut Antara lain adalah sebagai berikut:
a)
Kontak Dengan Kebudayaan Lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah proses penyebaran
unsur-unsur kebudayaan dari individu lain, dan dari satu masyarakat ke
masyarakat lain. Dengan proses tersebut, manusia mampu menghimpun
penemuan-penemuan baru yang telah di hasilkan. Dengan terjadinya difusi, suatu
penemuan baru yang telah di terima oleh masyarakat dapat di teruskan dan di
sebarkan pada masyarakat luas sampai ummat manusia di dunia dapat meikmati
kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan
dan memperkaya kebudayaan -kebudayaan masyarakat manusia. Dalam perkembanganya
di dalam lembaga pesantren dan sekolah umum belanda, dari kedua lembaga ini
saling kontang dengan kedu kebudayaan, dari lembaga pesantren juga hal ini
mengadopsi budaya sekolah formal belanda, walaupun tidak terlalu signifikan,
dengan memasukkan kurikulum pelajaran umum yang bersifat sekuler yang menjadi
sandaran pada pendidikan belanda. Sekolah umum juga mengadopsi sistim pesantren
dalam sebuah metode pengajaran yang di berikan pada saat K.H Ahmad Dahlan
mengajarkan di sekolah menengah di sekolah Yogyakarta, dengan materi
keagamaannya.
b)
Sistim Pendidikan Formal yang Maju
Pendidikan mangajarkan aneka macam kemampuan kepada individu. Pendidikan
memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuat dalam
membuat pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana berfikir secara
ilmiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berfikir secara objektif,
yang akan memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan masyarakat akan
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuha zaman atau tidak.[19] Seperti
halnya dengan perkembangan pendidikan di masa belanda di Yogyakarta , perubahan
dari pendidikan tradisional dan melahirkan sistim pendidikan formal yang
didirikan oleh belanda, hal ini yang mempengaruhi pola fikir masyarakat
Yogyakarta, terkhusus pada anak-anak bangsawan yang mereka mendapatkan
pendidikan yang layak, yang berakibat berkembangnya kemajuan masyarakat
sebagian dan tidak ketinggalan pula dengan lembaga pesantren dan madrasah yang
berangsur-angsur menyesuaikan sistim pendidikan Belanda walaupun tidak intensif
dalam mengambilan jenis kurikulumnya.[20]
2) PENDIDIKAN DI MASA HINDIA BELANDA
1)
Pendidikan dan Perubahan Sosial dari Pesantren ke Sekolah Belanda
Dewasa ini sebagaimana halnya pada awal sejarah jawa, kearifan guru
atau sebutan pendidikan islam nya kyai. Yang mendapatkan pandangan termahsyur
menyebar melampaui daerah sekitar dan menarik kalangan muda dari seluruh tanah
jawa serta menyebar di pelosok hegeri di Nusantara. Mereka para kaum muda
memiliki keingina yang kuat untuk mempelajari kearifan seorang kyai, menurut
pandangan Islam ajaran-ajaran ini dapat di tafsirkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
yaitu kisah-kisah keagamaan yang suci dan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh atau
prinsip-prinsip islam. Dalam perkembangan masyarakat di kalangan kaum muda,
mereka berpandangan menuntut ilmu kepada kyai adalah hal wajib yang harus
mereka geluti dan mereke biasanya belajar pada kyai yang satu ke kyai yang
lainnya dan pola mereka belajar secara bergantian dari satu tempat ke tempat
lainnya. Dan mereka berkeinginan keras untuk menguasai ilmu yang dimiliki kyai
tersebut.
Dalam dunia pendidikan pesantren, mereka tidak perlu menggunakan
persyaratan resmi dan hal ini seorang kyai pun tidak menolak para calon santri untuk
belajar di lembaga pendidikan tersebut. namun santri tetap mendapatkan
aturan-aturan yang baku apabila mereka sudah memasuki dunia pesantren. Dan para
santri harus berkeinginan tinggi untuk melaksanakan semua kewajiban keagamaan
dan keduniaan dalam masyarakat kecil yang khusus. Kehidupan dalm lembaga
pesantren diatur sebagai wadah keluarga besar yang berpusat di sekitar kyai
yang patriarkal, dalam kehidupan di pesantren para santri dibekali ilmu-ilmu
keagamaan, seperti membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab yang biasanya
dilakukan di langgar atau surau-surau, dan hal ini dihadiri oleh santri di
setiap desa yang cukup banyak.
Dalam perkembangan dunia pendidikan
setelah pesantren mulailah merambah ke dunia sekolah tersebut
berkenbang, seperti madrasah yang setingkatan dengan sekolah dasar. Di sebuah desa
terdapat pesantren krapyak di Yogyakarta. Pesantren tersebut masih
mempertahankan tradisinya yang lama, terlepas dari perubahan sosial
kemasyarakatan saat itu. Di bidang ekonomi sosial dan budaya di lingkungan
dekat mereka dan umumnya pesantren masih mempertahankan pendidikan yang banyak
menhkaji kitab-kitab lama hal ini didasari oleh pesamaan dalam pesantren yang
seolah-olah perubahan sosial kemasyarakatan yang pesantren miliki tetap pada
orientasi masa lalu, dan perubahan itu biasanya tidak terlalu besar seperti
diperkenankannya sejumlah santri sebagian kecil untuk mengikuti sekolah dasar
negeri di desa pada pagi hari.
Semanjak berakhirnya revolusi bersenjata adanya kecenderungan pemikiran
dan pandangan hidup duniawi ketimbang akhirat, dan hal ini dapat di lawan
dengan termashurnya lembaga pesantren yang menjadi loncata besar bagi
pendidikan Islam di Yogyakarta yang turut andil membendung pergerakan
masyarakat yang sudah mulai berkiblat pada pemikiran (weltanschauung) sekularisme. Perubahan
ini tidak banyak pada salah satu lembaga pesntren di krapyak yang juga berpera
penting dalam melawan faham sekuler, dengan menerima calon santri baru tanpa
adanya penyeleksian, namun dalam sisitimnya adanya korelasi ilmu pengetahuan
baru yang disesuaikan oleh zaman, namun tidak menghilangkan jati diri islam
yang menjadi landasan dasar lembaga pesantren. Ilmu pengetahuan umum biasanya
diajarkan oleh guru mengajar dan bukan dari kyai. Kyai umumnya mengajarkan
ilmu-ilmu keagamaan, berbeda halnya dengan ilmu sejarah, ilmu bumi, bahasa Belanda
dan pelajaran-pelajaran sekuler lainnya yang dimasukkan ke dalam kurikulum dan
diajarkan oleh orang-orang yang bukan berasal dari kyai dan diajarkan oleh guru
di luar pesantren.
Kecenderungan akan faham sekulerisme di masyarakat pada saat itu,
telah berkembang lebih kuat dari pada sekolah-sekolah yang berfaham islam. Hal
ini karena pola fikir masyarakat berubah sacara structural. Karena adanya
perubahan zaman dengan hadirnya kaum penjajah Belanda yang banyak mengadopsi
pemikiran-pemikiran barat, ditambah lagi dengan sekolah-sekolah umum dan
sekulerisasi banyak banyak mendapatkan subsidi yang di berikan oleh pemerintah
Belanda, sedangkan sekolah-sekolah berbasisi keislaman hanya pada guru yang
mengajarkan di mata pelajaran umum. Lain halnya para guru yang mengajar pada
guru yang mengajarkan ilmu agama, mereka umumnya tidak diberikan upah, namun
apabila adasumbangan secara sukarela mereka tidak keberatan untuk menerimanya.
Mereka beralasan bahwa tugasnya ini dalam mendidik pelajaran agama semata-mata
hanyalah suatu sumbangan demi keselamatan sesame manusia yang sekaligus
memberikan kebaikan pahala pada mereka, baik pada guru maupun pada murisnya.
Berbeda dengan guru yang mengajar pada mata pelajaran umum yang lebih pada
orientasi upah/bayaran. Seperti halnya sebuah sekolah di Wonokromo yang dikenal
masyarakat Islam konservatif yang kuat. Namun dua dari tiga madrasah telah ditutup
sejak tahun 1952 oleh Karena guru-gurunya banyak yang pindah mengajar di luar
desa untuk mencari nafkah. Hal ini dapat
dikatakan bahwa madrasah, pesantren dan langgar sebagai lembaga pendidikan akan
menyerah dan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum, karena hasrat akan
pendidikan sekuler yang tumbuh dengan pesat dalam masyarakat Yogyakarta
terkhusus, lebih menarik oleh generasi muda daripada pendidikan yang berbasis
keagamaan. Di Yogyakarta hasrat untuk menempuh pendidikan senantiasa dipandang
sebagai sarana utama menuju perbaikan untuk masa depan, dahulu perhatian
masyarakat terkonsentrasi pada pemikiran akhirat namun kini tak banyak
masyarakat yang mempunyai pandangan demikian. Pelajaran agama berangsur-angsur
berkurang diminati, kecuali kalau pelajaran agama tersebut di sesuaikan dengan
kebutuhan pendidikan sekuler yang menjadi ciri pemuda Yogyakarta semasa
penjajahan. Hal ini akan berakibat fatal, bilamana agama dan sekulerisme
dicampu adukkan . dan akan berbahaya mengapa? Karena sekulerisme dengan agama
dinilai selalu bertolak belakang dengan faham masing-masing ideologi.
2)
Sistim pendidikan di masa Hindia-Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda membawakan jenis pendidikan
baru yang banyak hal yang berbeda, dari pada pendidikan pribumi, hal-hal yang
membedakan diantaranya:
Ø Pendidikan yang di biayai oleh Belanda di sekolah-sekolah
umum/netral terhadap faham agama.
Ø Tidak memfokuskan pada pemikiran yang berkesinambungan Antara
harmonisasi dalam dunia, namun mereka lebih memfokuskan pada jenis penghidupan
yang maju untuk ke depan.
Ø Pendidikan lebih pada kepentingan golongan tertentu saja, seperti
perbedaan etnis di kalangan masyarakat.
Ø Dilakukan sebagai upaya mempertahankan perbedaan kelas di
masyarakat Yogyakarta di kalangan masyarakat jawa.
Ø Bertujuan untuk membentuk kelompok elite masyarakat yang dapat di
rekrut untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri
jajahannya. Hal ini mencerminkan bahwa belanda mengambil kebijakan pemerintah
hindia belanda. [21]
Permulaan sekolah-sekolah yang didirikan oleh belanda si masa VOC
pada permulaanya abad ke 18 M, sistim pendidikan yang di tetapkan oleh VOC
adalah berbasis keagamaan di samping kegiatan dagang mereka. Belanda menganggap
penyebaran agama Kristen dikalangan rakyat sebagai suatu kewajiban untuk
mewujudkan missionaris nasrani di nusantara. Gubernur dan dewan-dewan
pemerintahan belanda dalam rangka menyebarkan penyebaran agama Kristen mereka
berinisiatif membangun sekolah-sekolah Kristen sebagai wujud penyebaran mission
mereka di dunia pendidikan, di penghujung abad 18 M, VOC di bubarkan dan
kekuasaan diambil alih oleh pemerintah belandasecara penuh, diadakannya
kebijakan pemisahan Antara agama dan pendidikan, pada tahun 1816 M, tidak lama
sesudah masa peralihan pemerintahan (interregnum) inggris didirikan sekolah
umum belanda yang pertama di weltwevreden kini bagian dari wilayah Jakarta dan
sejak saat itulah sekolah-sekolah umum netral dari pemahaman agama.
Dalam pendapat lain kegiatan pendidikan pendidikan yang dilakukan
oleh VOC terutama di pusatkan di timur Indonesia di mana agama katolik telah
berakar dan Batavia/Jakarta, pusat administrasi kolonial. Pada tahun 1607
ddirikan sekolah pertama di Ambon untyk anak-anak Indonesia, karena pada saat
itu belum ada anak-anak belanda. Tujuan utama rupanya untuk menyebarkan agama
katolik dengan menyebarkan agama protestan, calvinisme. Kurikulum
sekolah-sekolah selama VOC berhubungan erat dengan gereja. Menurut instruksi
Heeren XVII, badan tertinggi VOC di negeri belanda yang terdiri atas 17
anggota, tahun 1617 M, gubernur di Indonesia harus menyebarluaskan agama
Kristen dan mendirikan sekolah untuk tujuan itu. Menurut peraturan sekolah 1643
M, tugas guru ialah: memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar
agama Kristen, mengajar anak berdoa, menyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang
tua, penguasa dan guru-guru. Walaupun tidak ada kurikulum yang di tentukan,
biasanya sekolah menyajikan pelajaran katekismus, agama, juga membaca, menulis
dan bernyanyi. Demikian pula tidak ditentukan lama belajar. Peraturan hanya
menentukan bahwa anak pria lebih dari usia 16 tahundan anak wanita lebih dari
12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah. Kemudian usia itu
diturunkan menjadi 12 tahununtuk anak pria dan 10 tahun untuk anak wanita. Pembagian
dalam 3 kelas untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1778 M. di kelas 3. Kelas
terendah, anak-anak belajar abjad, di kelas 2 membaca, menulis dan bernyanyi
dan di kelas 1, kelas tinggi: membaca, menulis, katekismus, bernyanyi dan
berhitung.[22]
Netralisasi dalam hal agama ini tidaklah berarti bahwa pemerintahan
kolonial tidak berminat pada sekolah-sekolah yang berbasispada pemahaman agama.
Pemerintah belanda juga memberikan subsidi pada sekolah-sekolah agama, seperti
lembaga pendidikan Kristen, katolik dan Kristen protestan dan tidak hanyaitu
pendidikan islam juga mendapatkan subsidi yang dilimpahkan dari pemerintah
belanda, namun sistim pendidikan islam dapat menerima subsidi harus memadukan
pendidikan islam yang sekuler. Itupun subsidi yang dikucurkan oleh pemerintah
sangatlah terbatas, dalam kurun waktu 1938-1939 M. telah diberikan subsidi
kepada 2016 sekolah-sekolah yang berbasis di Kristen protestan, 728 sekolah
katolik dan 133 sekolah islam.berbeda dengan sekolah islam, subsidi yang di
kucurkan oleh pemerintah belanda tidak sebanyak sekolah Kristen, dikarenakan
bukan kerena jumlah sekolah mereka yang sedikit, namun dilihat dari kriteria
persyaratan sekolah yang sudah diberikan dari pemerintah Belanda tidaklah
memenuhi syarat dan kriteria yang berlaku, contoh dalam tenaga pengajar yang
kurang kompeten dalam pengajaran pelajaran umum/sekuler. Hal ini menjadi
tantangan yang belum mampu untuk menyesuaikan standar mutu pengajaran yang di
syaratkan oleh pemerintah Belanda.
Dalam pendapat buku lain menjelaskan mengenai subsidi anggaran
pemerintah Belanda untuk pendidikan yaitu: subsidi bagi sekolah-sekolah
bumiputra, surat menteri jajahan (van asch van wijk) kepada gubernur jenderal (rooseboom)
tanggal 23 januari 1902 nomor 20/236 mengatakan dalam surat ini dengan menarik
surat gubernur jenderal tanggal 6 september 1901 nomor 1812/29 tentang
peminjaman kembali ketentuan tentang pemberian subsidi Negara kepada sekolah
bumiputra swasta dan menyusul surat pada
tanggal 23 januari 1902 11tt.A. no. 19/235 tentang penambahan sekolah bumiputra
negeri. Menteri penyampaiak pendapat serta pemikirannya kepada gubernur
jenderal sebagai berikut:
A.
Untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan rendah bagi pendduk bumiputra
yang semakin bertambah, dapat ditempuh jalan untuk menambah jumlah
sekolahbumiputra negeri yang senantiasa semakin bertambah kebutuhannya. Jika
pada penambahan jumlah sekolah bumiputrayang lebih dari biasanya aka nada
halangan dalam peraturan tahun 1893 mengenai pendidikan bumiputera dengan
memberatkan keungan Negara, maka dengan perubahan peraturan memberikan subsidi
kepada sekolah bumiputera swasta, seperti yang sekarang ada menurut peraturan
Negara 1895 nomor 146, maka:
Ø Biaya dapat ditanggulangi dan yang
ke dua.
Ø Pembebanan kekuatan keuangan Negara
tidak perlu dikhawatirkan.
B.
Disetujui pula usul untuk memperluas batas-batas pemberian subsidi
kepada sekolah-sekolah bumiputera swasta.
C.
Jumlah uang subsidi terlampirdalam lembaran Negara tersebut terlalu
kecil (f.100—f.250—per tahun menurut jumlah murid ditambahkan subsidi
f.20---f.40.—biaya pemeliharaan). Dan harus dinaikkan sebagai dasar diambil
biaya minimum setahub dari sekolah bumiputera negeri dengan jumlah murid
tertentu. Subsidi yang diberikan kepada sekolah swasta dengan jumlah murid sama
kira-kira 2/3 dari
biaya minimum tersebut. dengan dinaikkannya jumlah subsidi, prakarsa swasta
akan lebih merangsang, dan apabila memenuhi syarat yang berlaku di pemerintah
belanda. Sekolah swastajika mememnuhi syarat-syarat yang tertera dalam konsep
perubahan ordonansi dalam peraturan negara1895 nomor 146 (surat gubernur
jenderal tertanggal 14 februari 1901 nomor 331/36) mempunyai ha katas subsidi.[23]
Dimata pemerintahan Belanda lembaga pendidikan pesantren, madrasah
dan langgar, sifat lembaga pendidikan ini semata-mata hanya memfokuskan pada
pelajaran keagamaan dan yang menjadikan kurangnya standar pengajaran serta
kurikulum lembaga-lembaga islam adalah mereka memfokuskan pada pendidika agama,
namun sangat sedikit memperhatikan penelitian ilmiah dan pendidikan sosial
lainnya, meskipun demikian pemerintah melakukan pengawasan atas sekolah-sekolah
islam. Mereka bukan mengawasi kurikulum, metode pengajaran, buku-buku teks atau
guru-guru mereka. Namun pemerintah lebih memfokuskan pada pengawasan terhadap
pengaruh mereka para santri/ peserta didik yang besar dan memiliki loyalitas di
masyarakat Indonesia terkhusus di Yogyakarta, pada umumnya para santri yang
kembali dari pesantren dan mereka kembali ke desa mereka masing-masing,
biasanya mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat mereka. Berkat
pelajaran yang mereka dapatkan dari guru-guru yang termahsyur, mereka dapat
menyebarkan pengaruh dan kharisma yang luas dalam aspek-aspek keagamaan dan
kemasyarakatan di kalangan warga masyarakat yang santri diami. Umumnya para
santri lebih menguasai pandangan agama dalam kemasyarakat, walaupun mereka
sendiri tidak dapat mendirikan lembaga pendidikan.
Pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah umum selama masa
penjajahan Belanda sangat di fokuskan pada kebudayaan Belanda di negeri Belanda
yang dapat memberikan kebijakan
pendidikan serta guru-guru adalah orang belanda atau pelatihnya hanya
orang Belanda saja. Dalam banyak kurikulum yang diberikan oleh pemerintah lebih
banyak kepada pengajaran ilmu bumi dan sejarah Belanda namun tidak memberikan
banyak pengetahuan ilmu bumi dan sejarah nusantara. Bahasa Belanda menjadi
syarat resmi dalam standar kelulusan, untuk kelulusan ujuan Negara dan untuk
mendapatkan pekerjaan di birokrasi Belanda atau di perusahaan Belanda.[24]
Pada tanggal 15 februari 1886 (peraturan Negara hindia-belanda
nomor 47) bahasa belanda sebagai mata pelajaran dihapuskan dari program.
Menurut sementara orang hal ini disebabkan, karena bahasa belanda diajarkan
tidak hanya sebagai mata pelajaran saja, tetapi juga sebagai media pengantar
untuk mata pelajaran lainnya. Bahwa pengetahuan tentang bahasa belanda yang
dicapai oleh murid-murid dinilai kurang baik. Maka dari itu banyak yang
berpendapat bahwa penggunaan bahasa itu dalam pelajaran-pelajaran lainnya
sangat merugikan. Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan di
sekolah kepala bumiputera dalam reorganisasi 1893 sekolah-sekolah itu tidak
lagi diperuntukan oleh orang-orang terkemuka atau bangsawan bumiputra, tetapi
dijadikan sekolah pendidikan pegawai negeri bumiputera. Dalam tahun 1899 bahasa
Belanda dikembalikan sebagai bahasa pengantar (BUKU JADUL).[25] Kebijakan ini menimbulkan murid banyak yang
frustasi, karena lingkungan sekolah dan keluarga ditemuka banyak hal yang
berbeda yang tidak biasa mereka temukan di sekolah. Dan membuat murid-murid
tidak terbiasa keterkaitan yang kuat pada pelajaranpelajaran yang diberikan
oleh pemerintah belanda. Menyebabkan keterasingan dari lingkungan sosial
pribumi yang memperlebar jurang yang memisahkan elite penguasa dari rakyat
biasa yang diperintah. Namun harus diakui bahwa mata pelajaran berhitung, menulis, kimia, matematika yang
secara kultural bersifat netral sangat bermanfaat bagi para sisiwa dan tidak
menimbulkan kekhawatiran dan frustasi
dalam hubungan mereka dengan masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan
formal. Akan tetapi penerapan cabang-cabang pengetahuan ini untuk mencapai
keuntungan ekonomi yang bersifat individual yang tidak sama denngan norma-norma
sosial yang berlaku, dan yang sifatnya berpusat pada masyarakat tidak
mendatangkan terwujudnya keseimbangan sosial.
Sebaliknya pelajaran-pelajaran di pesantren dan madrasah
semata-mataditujukan pada terciptanya sebagai keserasian hidup Antara individu
dengan masyarakat, mereka tidak melakukan tugas untuk mengubah gaya hidup yang
ada menuju suatu arah yang dikehendaki sebagaimana pandangan masyarakat barat
itu bukanlah soal superioritas/interioritas anatara jenis pendidikan pribumi
dengan jenis pendidikan formal yang dibiayai oleh pemerintah Belanda, meleinkan
soal jenis pendidikan apa yang dipandang lebih baik dan lebih bermanfaat didalam
hubungan dengan masyarakat.
Mereka yang bertaggung jawab atas pendidikan formal yang dibiayai
oleh belanda di Yogyakarta menganggap bahwa mereka harus memperhitungkan
berbagai kebutuhan dan kemampuan dari berbagai kalangan yang ada di dalam
masyarakat Yogyakarta. Pendidikan tidak digunakan sebagai suatu integrasi
masyarakat, tetapi sarana yang berfungsi untuk tiap kelompok sosial menurut
tingkat kemajuan sosialnya. Sistim pendidikan mencerminkan dan mempertahankan
keanekaragaman kultur dan kearifan lokal masyarakat Yogyakarta. Untuk memahami
keragaman sosial ini tidak ada gambaran yang lebih baik daripada apa yang
diberikan oleh Furnivall:
Di jawa yang pertama-tama mencengangkan seorang pendatang adalah
aneka ragamnya penduduk asli: orang eropa, orang china, orang india dan
penduduk asli. Keanekaragaman dalam penegrtian yang sesungguhnya sebab mereka
hanya akan bercampur akan tetapi tidak menyatu. Tiap kelompok penganut agama,
kebudayaan, dan bahasa serta pandangan hidup dan caranya sendiri. Mereka memang
bertemu, tetapi hanya dipasar dan dalam jual beli. Yang ada ialah masyarakat
majemuk dengan berbagai macam kelompok masyarakat yang hidup berdampingan,
tetapi terpisah dalam kesatuan politik yang sama.. seperti halnya zaman dahulu,
ada sistem kasta, akan tetapi tanpa landasan keagamaan yang memasuki kasta itu
dalam kehidupan sosial di india. (colonial policy and practice, P. 304)
Selain dengan keragaman kelompok yang ada dalam masyarakat ini.
Didirikan sekolah-sekolah dasar yang terpisah untuk orang Yogyakarta, orang
Belanda, oarng China, dan orang Arab. Tiap jenis sekolah etnis seperti itu
disesuaikan dengan kebutuhan kelompok yang bersangkutan yang ada dalam
masyarakat. Pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda, kecuali di
sekolah-sekolah dasar di pedesaan yang mempergunakan bahasa daerah.
Dalam disertasi doktornya, K.Neys berkata bahwa tidak ada
keseragaman sekolah di Hindia-Belanda seperti halnya di Eropa: perbedaannya ini
merupakan ciri dualism masyarakat kolonial yang tercermindalam struktur ganda
sistem sekolahnya: di satu pihak sekolah-sekolah dasar berpola barat, yang dari
semula dimaksud untuk melayani sekelompok orang-orang pilihan-karena kecerdasan
dan kebudayaan sosialnya yang menginginkan terus ke sekolah menengah dan
sekolah tinggi barat, dan di lain pihak sekolah dasar yang secara kultur sangat
bersifat pribumi, diperuntukan massa rakyat yang tidak bermaksud memasuki
sekolah-sekolah di atas tingkat sekolah dasar yang berorientasi barat.
Perbedaan ialah bahwa yang pertama memberikan pendidikan yang luas,
guru-gurunya lebih kompeten dan sekolah-sekolahnya mempunyai mendapat lebih
banyak dana dari pemerintah. Desa-desa diharuskan memberikan sumbangan 5 persen
dari pendapatan desa, sebagian besar diambil dari tanah milik desa sendiri,
kepada suatu dana sekolahyang dikelola oleh pemerintah kabupaten atau privinsi.
Pada tahun 1914 sekolah-sekolah kelas satu direorganisasi menjadi
sekolah-sekolah Belanda pribumi (HIS) dengan kurikulum tujuh tahun dimana
bahasa belanda diajarkan dari kelas tiga dan digunakan sebagai bahasa pengantar
di kelas-kelas yang lebih tinggi. Jenis sekolah seperti ini yang ada hingga
akhir masa pemerintahan Belanda hanya bisa dimasuki oleh anak-anak yang
orangtuanya memiliki status terhormat dalam masyarakat pribumi karena jabatan,
asal-usul, kekayaan ataupun pendidikannya. oleh karena mereka yang memenuhi
semua pesyaratan sebagian besar adalah pendduk yang berdiam di kota, sekolah
Belanda (HIS) hamper semua didirikan di kota-kota dan karenanya mempertajam
perbedaan sosial Antara masyarakat perkotaan yang berorientasi pada Belanda
denngan masyarakat pedesaan yang berorientasi pada keindoneisaan.
Kebijakan pendidikan pemerintah Hindia-Belandayang rumit ini jelas
dirumuskan oleh Raden Loekman Djajadiningrat, orang Indonesia pertama dan terakhir
yang bekerja pada pemerintahan sebagai direktur pendidikan pada tahun-tahun
menjelang perang dunia ke II:
Disamping kelompok orang Indonesia yang besar, terdapat kelompok
orang Eropa yang kecil tetapi giat dan kelompok orang China yang lebih besar dan
ekonomis kuat. Lagi pula, tingkat kebudayaan penduduk sangat berbeda-beda,
tidak hanya dikalangan orang Indonesia sendiri perbedaan divergentasinya sangat
mencolok, tetapi di kalangan orang Eropa dan China. Oaring Indonesia terdiri
dari golongan primitive, golongan
setengah beradab dan golongan yang sangat tibggi peradabannya, sedangkan
tingkat intelektual dikalangan oaring Eropa dan China ditrntukan oleh berbagai
keadaan sosial dan ekonomi mereka yang juga sangat berbeda-beda.
Lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya harus diseuaikan dengan
kebutuha-kebutuhan para siswa. Akibatnya disamping klasifikasi siswa secara
horizontal seperti yang ada ada pada masyarakat homogin, diperlukan suatu
perbedaan siswa dan lembaganya secara vertical untuk menyajikan
pelajaran-pelajaran yang dapat memuaskan
siswa yang homogeny ini. Suatu sistim pendidikan yang beragam yang tidak
memperhitungkan perbedaan-perbedaan lingkungan kebudayaan dan kebutuhan pasti
akan mengalami kegagalan. ( Rade
Loekman Djajadiningrat, form literacy to university Netherlands and Netherlands
indies council of the institute of pacific relations bull’s: new York 1942 )
hal 8
Pemisahan kelas pada tingkat sekolah dasar bahkan di perluas pada
sekolah-sekolah belanda pribumi (HIS) di Yogyakarta hingga awal masa pendudukan
jepang, dulu ada ebuah sekolah dasar yang bernama keputran yang khusus untuk
anak-anak kaum bangsawan serta pejabat
tinggi pemerintah, demikian pula dua buah sekolah umum lainnya untyk golongan
terkemuka lain dalam masyarakat. Dengan sistim pendidikan terpisah yang tidak
memberikan prospek sosial dan material yang memuaskan bagi kelompok-kelompok
bawah, tidak mengherankan bahwa penduduk pedesaan pada umumnya tidak begitu
menghargai pendidikan formal. Tiap awal tahun pemerintah desa dan pamong praja
bekerja keras untyk menggiring anak-anak kecil masuk sekolah, dan walaupun anak-anak itu sudah masuk sekolah
tidaklah mudah bagi guru-guru untuk menjaga anak-anak untuk tetap di sekolah.
Ketidakhadiran absen cukup tinggi terutama dimusim banyak kerja di sawah. Walaupun ini berlangsung tiap
tahun, tidak pernah ada penyesuaian sistem libur dengan kebutuhan pertanian di
sekitarnya. Akibat kehadiran di sekolah turun naik sejalan dengan panem musim
raya di lingkungan pertanian . bahkan musim tidak di sawah sekalipun penduduk
desa selalu punya alasan untuk menahan anak-anaknya di rumah bagaimanapun,
anak-anak adalah salah satu modal ekonomi bagi keluarga-keluarga petani, dan
mereka juga harus turut serta dalam memperoleh penghasilan keluarga dengan
menggembala ternak, mengasuh bayi atau melakuka pekerjaan-pekerjaan lainnya di
sawah sesuai dengan kemampuan mereka. Sebab lain mengapa rakyat tidak begitu
bergairah pada pendidikan ialah kenyataan bahwa masyarakat pedesaan umumnya
belum mempunyai kebiasaan membaca dan menulis. Kurangnya kegairahan akan
pendidikan formal di kalanngan penduduk pedesaan ini ditafsirkan oleh
pemerintah kolonial sebagai kurangnya kebutuhan akan pendidikan. Akibatnya
pemerintah kolonial merasa tidak perlu membangun sekolah lebih banyak untuk
rakyat/ masyarakat dengan laju yang melebihi masa-masa lampau di pedesaan.
Kebijakan bahwa pendidikan pertama-tama adalah unttuk kalangan elite adalah
bagian dari pendapat bahwa dari strata atas dalam masyarakat pendidikan akan mengalir kepada kelas-kelas
yang lebih rendah, sehingga pendidikan pada kelas-kelas yang lebih tinggi akan
diikuti oleh kelas-kelas yang lebih rendah. Sehubungan dengan tidak cukupnnya
dana pemerintah untuk pendidikan pada pertengahan abad kesembilan belas, Amry van
den Bosch menyatakan:
Bermula di tahum 1848, pemerintah menyediakan 25.000 florin setahun
untuk membangun sekolah-sekolah di kalangan orang jawa. Tindakan ini tidak
disebabkan oleh meningkatnya pengaruh liberal di negeri Belanda, karena ketika
itu belum ada pikiran untuk memberikan pendidikan kepada rakyat.
Sekolah-sekolah ini terutama di maksudkan untuk pendidik kepada rakyat.
Sekolah-sekolah ini terutama dimaksudkan untuk mendidik pegawai pribumi tingkat
rendah. Berbagai keadaan baru memerlukan patokan administrasi yang tidak lagi
dipenuhi para pegawai pribumi yang tidak berpendidikan. Ketrikatan pada
keturunan membuat masalah ini lebih sulit lagi. (Amry van den bosch, the dutck
east indies . university of California press, 1944. Hal 199)
Sebetulnya sistem sekolah untuk penduduk pribumi bukan dimaksudkan
sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, melainkan sebagai
sarana yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah. Kehidupan
rakyat sehari-hari atau yang bisa mereka tetapkan untuk mencari nafkah di luar
kantor-kantor pemerintah. Kebijakan ini anatara lain bersumber pada
intelektualisme yang merupakan ciri pendidikan yang dibiayai oleh belanda.
Pengaruh sosialnya ialah bahwa pendidikan telah menjadi suatu pabrik pegawai
dan bahwa pelajar tidak memahami apa yang mereka pelajari. Para siswa bisa
membanggakan pendidikan intelektual mereka, tetapi mereka tidak dilatih untuk
bekerja bagi masyarakat Indonesia. Tujuan pokok masuk sekolah adalah untuk
mendapatkan ijazah yang dapat memberikan mereka menuju jalan-jalan pekerjaan di
bidang pemerintahan.
Untuk melatih para petugas pamong praja, pemerintah hindia belanda
menerapkan syarat tambahan yang sebetulnya lebih penting disamping ijazah sekolah itu sendiri, yaitu loyalitas
kepada pemerintah Belanda. Pamong praja menjadi tilang punggung pemerintah
kolonial, oleh karena itu sangat penting bahwa para anggotanya harus dipilih
berdasarkan loyalitasnya kepada pemerintah Hindia-Belanda dan latar
pendidikannya mendapatkan peringkat kedua dalam syarat menjadi pamong praja
kolonial. Untuk memasuki Mosvia-sekolah menengah untuk mendidik pamong praja
diperlukan adanya izin dari gubernur provinsi setelah melalui suatu ujian
kecakapan serta penelitian mengenai latar belakang siswa. Selain terkecuali
yang diberikan oleh direktur pendidikan, siswa sedikitnya harus mendapat angka
6 (cukup) untuk bahasa Belanda pada ujian akhir sekolah dasar. Namun demikian,
integritas calon Mosvia lebih penting
daripada kecakapannya, dan kualitas dinilai berdasarkan latar belakang ini.
Anak-anak para pejabat pemerintah terkemuka biasanya diistimewakan daripada
anak-anak orang yang tidak bekerja di pemerintahan. Preferendi yang sama bagi
mereka yang berada dalam garis keturunan diterapkan sesudah lulus, ketika siswa
melamar untuk menjadi pegawai pamong praja.[26]
3)
Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
Politik pendidikan kolonial belanda erat hubungannya dengan politik
mereka pada umumnya, suatu politik yang di dominasi oleh golongan yang berkuasa
dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis, dengan maksud untuk membina
kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap
itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktik pendidikan tertentu
yaitu:
A.
Gradualisme yang luar
biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak indonesia
B.
Dualism dalam
pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam Antara pendidikan dan
pendidikan pribumi
C.
Control sentral yang kuat
D.
Keterbatasan tujuan sekolah
pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting
dalam perkembangan pendidikan
E.
Prinsip konkordasi yang
menyebabkan sekolah di Yogyakarta/insonesia sama dengan sekolah di negeri
belanda
4)
Kurikulum Dalam Pendidikan Hindia-Belanda
Sekolah rendah sebelum 1892 tidak mempunyai kurikulum yang uniform,
walaupun dalam peraturan 1871 ada petunjukyang menentukan kegiatan sekolah. Ada
empat mata pelajaran yang diharuskan, yaitu membaca, menulis, bahasa (bahasa
daerah atau bahasa melayu), dan berhitung. Selanjutnya guru-guru diizinkan
mengajarkan semua mata pelajaran yang diberikan di sekolah guru kecuali
padegonik. Maka kurikulum dapat meliputi mata pelajaran yang berikut:
geometric, geografi, berhitung, termasuk pecahan dan sistem decimal dan di
kelas tertinggi pengetahuan alam, fisika, botani, biologi, pertanian mengukur
tanah (kadaster), etnologi dan menggambar (meniru gambar). Untuk mengukur tanah
diperlukan seorang pegawai yang bekerja di perkebunan pemerintah. Mata
pelajaran ini dihapuskan pada tahun 1893 kecuali di sekolah kelas satu, dimana
mata pelajaran ini dihapuskan pada tahun 1911. Pertanian diberikan bukan demi perbaikan pertanian
rakyat akan tetapi diperlukan oleh pengawas perkebunan. Berhitung dikaitkan
dengan kalkulasi pajak tanah. Administrasi dan pembekuan garam dan kopi di
gudang pemerintah. Kurikulum biasanya direncanakan oleh komisi sekolah setempat
dengan bantuan guru dan diserahkan kapada inspektur untuk persetujuan.
Bahasa pengantar adalah bahasa daerah. Bila bahasa lokal tidak
sesuai, maka digunakan bahasa melayu. Karena banyaknya bahasa daerah, dan tidak
adanya guru dan buku pelajaran dalam
bahasa itu, maka sebagian penggantiannya digunakan bahasa melayu. Diperbatasan
sering digunakan dua bahasa dan di samping itu juga bahasa Melayu sehingga
anak-anak di situ mempelajari tiga bahasa.
Agama tidak diajarkan, seperti halnya di negeri Belanda Pada masa
liberal. Statute 1874 menyatakan bahwa semua pengajaran agama dilarang di
sekolah pemerintah, akan tetapi ruas kelas dapat digunakan untuk kepentingan
pengajaran agama di luar jam belajar. Guru-guru juga diperintakhan agar jangan
menyebarkan buah pikiran yang bertentangan dengan moral baik atau membangkitkan
pelanggaran undang-undang pemerintah Hindia-Belanda.
Dikebanyakan sekolah sebelum libur panjang biasanya diadakan apa
yang disebut pelajaran umum. Pada saat ini guru memperlihatkan keterampilannya
mengajar dan para pembesar mendapat kesempatan memantau pengetahuan murid dan
menilai guru. Pada saat ini juga diumumkan nama anak-anak yang naik kelas dan
yang menerima ijazah setelah menunjukkan hasil yang baik. Penyesuaian
masyarakat atas kebijakan standar kurikulum dalam pendidikan, memaksa
masyarakat untuk berusaha menyesuaikan dan berdaptasi untuk mengikuti alur
sisitim pendidikan yang pemerintah belanda berikan kepada masyarakat Yogyakarta.
Dari sistim pendidikan tradisional dan menyesuaikan pendidikan belanda yang
lebih modern.[28]
5)
Pendidikan Sebagai Penyedia Pegawai Hindia-Belanda
Sekolah pertama untuk masyarakat yogyakarta didirikan oleh Belanda
dengan tujuan mendidik anak-anak aristokrasi di jawa untuk menjadi pegawai di
perkebunan pemerintah yang senantiasa
berkembang selama masa tanam paksa. Boleh dikatakan bahwa hanya karena terpaksa
maka pemerintah akhirnya melibatkan diri dengan pendidikan di Yogyakarta.
Perubahan sosial masyarakat yang sebelumnya bekerja di lading atau secara
individu, mereka harus berusaha melayani pekerjaan yang diberikan oleh Belanda,
karena disebabkan sebahai tuntutan hidup dan adanya upah bayaran yang
dijanjikan oleh pemerintah hindia-belanda yang menjanjikan mereka untuk menjadi
masyarakat yang lebih baik, namun nyatanya mereka lebih banyak di porsir dalam
pekerjaan yang mereka lakukan, dan dalam pembagian keseharian mereka lebih
banyak bekerja dibandingkan bertenu keluarga di lingkungan masyarakatnya
sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Bangsa Belanda memperlihatkan semnagat tinggi untuk menyebarkan
agama, bahasa dan kebudayaannya di kalangan masyarakat Yogyakarta. Dalam
perkembangan sosial da sistem pendidikan di Yogyakarta perubahan itu di lihat
pada masyarakat tradisional yang menyesuaikan diri dengan kehadiran sisitim
pendidikan modern di masa Hindia-Belanda. Namun dengan kehadiran kolonial
belanda di tanah Yogyakarta, hal ini cukup menyaingi lembaga pendidikan
pesantren dan madrasah yang selama ini menjadi icon utama dan jati diri bangsa
Indonesia khususnya di Yogyakarta. Dengan hadirnya sitem pendidikan baru dan
modern membuat kuatnya pesaingan dalam perubahan kultur pendidikan masyarakat
Yogyakarta, hal ini yang menimbulkan dilemma masyarakat tradisional yang belum
dapat membiasakan diri untuk mengikuti sistem pendidikan Belanda, dan membuat
masyarakat memiliki sudut pandang yang berbeda, dan saat itu masyarakat umumnya
masih dalam korodor untuk mempertahankan sistem pendidikan lama di kalangan
masyarakat petani dan masyarakat biasa.
Dengan demikian adanya pencampuran kurikulim pesantren atau
madrasah dengan sisitem modern, hal ini berawal dengan adanya pen didikan
modern Belanda dan berakibat penyesuaian pendidikan tradisional yang harus
bersing adar tetap bertahan dan menyetarakan perubahan baru di sekolah modern
belanda. Banyak masyarakat Yogyakarta pada umumnya memandang bahwa perubahan
sistim pendidikan tradisional ke modern ini adalah sebuah multi kultur dan
penggabungan sistim perubahan pendidikan saat itu menjadikan acuan baku untuk
melanjutkan pendidikan formal yang sebelumnya mereka dalam naungan pendidikan
pesantre dan madrasah, mereka banyak yang beralih ke sisitim sekolah modern,
hal ini karena adanya dorongan masyarakat jawa di Yogyakarta untuk memenuhi
kebutuhan hidup dengan dapat bekerja di pemerintahan dan perusahaan Belanda
yang menjanjikan untuk di tekuni. Namun sistem pendidikan modern dan tradisional
kedua lembaga ini terus berbenah dengan arus perubahan di lingkungan regional
masyarakat yang memiliki kultur yang beragam dan menjadi tujuan bersama untuk
mewujudkan masyarakat yang maju serta berkompetisi di kalangan masyarakat
petani/biasa dengan masyarakat bangsawan dari keluarga raja.
Untuk mencapai tujuan hidup mereka di masyarakat yang
berkelanjutan, dengan tuntutan pekerjaan di dalam birokrasi kolonial. Mereka
pun saling memacu diri untuk mencapainya.
Sebelumnya saya selaku pembuat makalah mohon maaf yang
sebesar-besarnya kepada penbaca, apabila ada kata-kata atau susunan makalah
yang belum sempurna mohon di maklum, karena saya masih dalam tahap
pembelajaran. Semoga makalah ini dapat memeberikan inspirasi bagi pendidikan di
Indonesia terkhusus di D.I Yogyakarta, yang menjadi pelajaran untuk terus
memperbaiki dan berbenah dalam mutu dan kualitas pendidikan, dan kita dapat
mengetahui perubahan sosial di dalam pendidikan Yogyakarta sebagai pembelajaran
kita semua. Watawa saubil haq watawa saubis shobri (Q.S Al-‘Asr: 3)
منْ سَلَكَ
طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا اِلَى
الْجَنَّةِ
( رواه مسلم)
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut
ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Suqron
Jazajhamallohu khairan katsiron
DAFTAR PUSTAKA
v Departemen pendidikan dan kebudayaan, Badan Penelitian dan
Pengembangan dan Pendididkan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940
(Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda 1900-1940), tim penyusun, Jakarta 1977
v Nasution, S, sejarah pendidikan Indonesia, Bandung: Bumi
Aksara. 1994.
v Soemarjan, selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta: Jakarta: gadjah
mada university press 1986.
v Soekanto, soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: raja
grafindo persada Jakarta. 2012
v Setiadi M. Elly dan Kolip Usman, Pengantar Sosiologi.
Jakarta: kencana prenadamedia group. 2010.
[1]
S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Jakarta: bumi aksara, 1994), hlm 2
[2]
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, hlm, 609)
[3] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip Op. cit., hlm, 610
[4] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip Op.cit., hlm, 611
[5] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip Op.cit, hlm, 613)
[6]
Selo Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 279)
[7] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm, 620-621).
[8] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 278-285).
[9] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm, 623).
[10] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip Op. cit., hlm, 624.
[11] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 282).
[12] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm, 656).
[13] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 278-286).
[14] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm, 657).
[15] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 277).
[16]
Soerjono soekanto, sosiologi suatu pengantar,(Jakarta: rajawali press, hlm,
287)
[17] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 277).
[18] Soerjono
soekanto, sosiologi suatu pengantar,(Jakarta: rajawali press, hlm, 287)
[19] Soerjono
soekanto Op. cit., hlm, 284-285.
[20] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 275-278).
[21] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 278).
[22] S.Nasution,
Op., cit. hlm, 4-5.
[23]
DEPDIKBUD,Badan Penelitian dan Pengembangan dan Kebudayaan, pendidikan di Indonesia
1900-1940, (Jakarta tim penyusun
DEPDIKBUD: 1977, hlm 28-29).
[24] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 279-280).
[25] DEPDIKBUD,Badan
Penelitian dan Pengembangan dan Kebudayaan, pendidikan di Indonesia 1900-1940,
(Jakarta tim penyusun DEPDIKBUD: 1977,
hlm 15-16).
[26] Selo
Soemardjan, perubahan sosial di Yogyakarta, (Jakarta: gadjah mada university press, hlm, 278-286).
[27] S.Nasution,
sejarah pendidikan Indonesia. (Jakarta: bumi aksara, 1994), hlm 20
[28]
S.Nasution, Op., cit. hlm, 37.
0 komentar:
Posting Komentar