Abstrak
Cirebon adalah kota
yang terletak di tepi sungai yang menghubungkan ke pelabuhan, dan sebagai jalur
sutra perdagangan di pantai utara jawa, pelabuhan Cirebon juga sebagai
persinggahan kapal-kapal dari Banten yang menuju wilayah timur Indonesia, dalam
makalah saya ini akan membahas mengenai pelabuhan Cirebon serta komoditas
perdagangan yang sebagai jalur sutra persinggahan kapal-kapal dari timur dan
barat Indonesia. Bagaiamana kegiatan di pelabuhan Cirebon? Komodtas apa saja
yang di perjual belikan di pelabuhan, bagaimana perjalanan kesultanan Cirebon
dalam memajukan pelabuhan?. Komoditas apa yang menjadi andalan di pelabuhan
Cirebon? Uraian di atas akan di bahas lebih lanjut dalam makalah ini.
Keyword:
sejarah singkat kesultanan Cirebon, pelabuhan, komoditas perdagangan, dan hasil
alam.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa
barat, yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati, di awal abad ke 16, Cirebon masih
merupakan daerah kecil di bawah kekuasaan pakuan pajajaran.[1]
Setelah Cirebon resmi berdir sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari
kekuasaan pajajaran, sunan gunung jati berusaha meruntuhkan pajajaran yang
masih belum Islam.[2]
Dilihat pada masa pra Islam Cirebon tidak terlepas dari iconnya sebagai kota
dan sekaligus sebagai Bandar belabuhan, sejak awal kehidupan perairan sudah
melekat di kota ini, cikal bakal Cirebon berawal pada awal abad kelima sejalan
dengan program pembangunan sungai-sungai di seluruh Jawa Barat oleh
purnawarman. Program pembangunan itu berupa memperkokoh, memperlebar dan
memperdalam sungai yang dilakukan oleh seluruh masyarakat sebagai karya bakti,
pelaksanaannyadimulai dengan memperkokoh tepian sungai gangga di wilayah
indraprahasta (Cirebon Girang), yang dilakukan pada 12 Kresnapaksa Posyamasa
(Desember-Januari), tahun 332 saka (411 masehi).(Atja dan Ayatrohaedi, 1986:
31), terdapat informasi dari kitab Purwaka Caruba Nagari (KPCP),
disebutkan bahwa sungai gangga berada di wilayah nagari wanagiri di bawag
pimpinan prabu Indraprahasta, yang merupakan nagari otonom, nagari itu pada
abad ke 14 terpecah-pecah menjadi nagari-nagari kecil yang dipimpin oleh ki
gedeng-ki gedeng dan prabu-prabu yang kemudian tunduk pada Kerajaan Galuh. Dalam
KPCP dijelaskan bahwa armada China transit di Muara Jati untuk membeli
perbekalan, baik air bersih maupun bahan pangan untuk melanjutkan perjalanan ke
majapahit, Cirebon sebagai Bandar dagang transit masa itu, akan tetapi dalam
perjalannya Cirebon melui penguasanya yaitu ki gedeng tapa dan te ho berhasil
menjalin kerja sama dalam pembuatan mercusuar di pelabuhan Cirebon. Pihak China
rupanya tertarik dengan pelabuhan Cirebon, hal itu terlihat selain dari
kesediaan mereka dalam pembuatan mercusuar, mereka juga membuka perwakilan
dagang china untuk Nagari Singapura (Cirebon). Pembukaan itu memang didasarkan
pada kenyataan bahwa cirebon merupakan pelabuhan yang ramai sebagai tempat
persinggahan para pedagang dari penjuru nusantara bahkan secara internasional,
karena Cirebon sebagai Bandar transit di utara pulau Jawa, yang banyak pedagang
melakukan perjalanan ke kawasan timur seperti Maluku yag kaya akan
rempah-rempah, serta ke kawasan pelabuhan Majapahit di Jepara, tuban dan Gresik.
Setiap hari di pelabuhan Cirebon ramai dengan orang berjual berjual beli dan
banyak kapal berlabuh di pelabuhan muara jati, diantara mereka hadir dari
berbagai negeri yaitu dari china, arab, Persia, India, malaka, tumasik, pasai,
jawa timur, Palembang (sumardjo, 1983 : 16), keramaian itu tentu saja tidak
terlepas dari perkembangan perdagangan internasional, khususnya yang
berhubungan dengan jalur sutera, telah diketahui bahwa hasrat akan sutra china
yang berkilau, yang katanya seharga harga emas, membuka jalan bagi jalur sutra
di daratan dan laut dengan panjang kurang lebih 6.400 km, melintasi asia dan
laut dari barat ke timur selama berabad-abad. Kendatipun komoditas perdagangan
tidaklah hanya sutra saja yang di perdagangkan, bahkan di pelabuhan ini turut
bertemunya berbagai bangsa-bangsa internasional dan perdagangan seperti
rempah-rempah, buah-buahan, porselin, mesiu dan lain sebagainya, dan lebih jauh
lagi jalur sutra ini menyebabkan terjadinya kontak social, Budaya dan Agama.[3]
B. Pembatasan Rumusan Masalah
Kami di makalah ini akan lebih mengarah pada pembahasan mengenai
pelabuhan dan kegiatan perdagangan di Cirebon pada masa awal berdiri hingga
masa kolonial Belanda menguasai perdagangan di Cirebon, hal ini tentu saja di
lihat dari aspek perdagangan laut, melalui perdagangan di pelabuhan Cirebon,
serta hubungan antar pelabuhan di wilayah lain selain Cirebon dan kontak
perdagangan dengan para pedagang internasiobal.
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah saya ini, mengungkap mengenai
perdagangan di pelabuhan Cirebon dari masa awal terbentuk hingga masa kolonial
belanda hadir, serta memberikan informasi mengenai Cirebon sebagai kota
pelabuhan di jalur sutra tepatnya pantai uutara jawa, disamping itu juga
dimaksudkan untuk mempelakari hubungan antara kota pelabuhan dengan
perkembangan dan kemajuan perdagangan masa itu. Dalam penulisan ini akan
mengungkap pada komoditas perdagangan di pelabuhan, system pengelolaan
pelabuhan dan teknologi transportasi yang mendukung Cirebon sebagai Bandar kota
pelabuhan.
D. Manfaat Penulisan
Tentu saja manfaat dari penulisan makalah saya ini untuk
memberikan informasi mengenai hiruk pikuk perdagangan maritime di pelabuhan
Cirebon pada masa awal terbentuk hingga kolonial hadir di pelabuhan Cirebon,
dan memberikan informasi khususnya bagi masyarakat umum untuk melihat kejayaan
peradaban pada masa itu, sebagai sebuag pelajarah untuk di masa kini, terutama
dalam bidang ekonomi dan perdagangan di kelautan.
E. Metodologi Penulisan
Saya mengambil metode penulisan dari sumber buku sejarah
nasional Indonesia, budaya bahari, sejarah peradaban Islam, Indonesia dalam
arus sejarah dan buku kota Cirebon sebagai Bandar jalur sutra, semua buku ini
di jadikan sebagai bahan rujukan dan di pilah dan di pilih untuk melengkapi
bahan makalah ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam Bab I menjelaskan mengenai pendahuluan yang mengandung
pokok persoalan yang akan di jelaskan secara luas di makalah ini, sebagaimana
yang sudah di uraikan di awal.
Dalam Bab II menjelaskan perdagangan maritim di pelabuhan,
komoditas yang di perdagangkan serta perjalanan singkat Cirebon sebagai kota
Bandar dan kesultanan Islam.
Dalam Bab III merangkum dan mengupas pembahasa makalah ini
sebagaimana yang sudah di terangkan dalam Bab II
BAB II
PEMBAHASAN
Informasi Umum Tentang
Cirebon
Dalam laporan tome pires kira-kira enpat puluh
tahun dibawahi oleh demak dan yang penduduknya kira-kira seribu orang, nama
asli Cirebon berasal dari nama caruban yang artinya ‘’tempat pertemuan’’,
persinggahan jalan. Dalam sebuah naskah Jawa yang diperkirakan relative baru
pada tahun 1720 yaitu Purwaka Caruban Nagari merinci berbagai bangsa
sering mengunjungi pelabuhannya dari awal mula, ‘’orang China, Arab, Persia,
India orang dari Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang’’.[4] kehadiran
Tome Pires (1512-1515) sekitar tahun 1513, diberitakan Cirebon sudah termasuk
ke daerah Jawa di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Penguasa Cirebon adalah Lebe
Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon juga termasuk kerajaan yang mempunyai
peran dalam ekspor bahan pangan seperti beras dan bahan makananan lainnya. Cirebon pada masa itu penduduknya
sudah mencapai 1000 orang. Pate Quitir yang dahulu memberontak di Kampong Upeh
(Malaka)- berdiam di Cirebon sebagai pedagang besar yang disegani oleh para
pedagang lainnya bahkan oleh Raja Cirebon.[5]
Yang menari dalam catatan Tome Pires bahwa Islam sudah hadir di Cirebon ini 40
tahun sebelum kedatangannya. Perhitungan tahun hadirnya Islam di Cirebon berdasarkan
berita itu dapat diperkirakan antara tahun 1470-1475 M. perkiraan islam hadir
di Cirebon tersebut dapat dibandingkan dengan sumber lokal Tjarita Purwaka
Tjaruban nagari karya pangeran Arya Carbon tahun 1720 M.[6]
Gambar
1.1: Peta
Karesidenan Cirebon Raya
Cirebon adalah salah satu kota pelabuhan yang
terdapat di pantai utara jawa barat, secara geografis Cirebon sangat strategis.
Kota pelabuhan ini terletak di lokasi yang berbentuk teluk sehingga terhindung
dari gangguan alam berupa gelombang air laut. Lokasi pelabuhan ini terletak di
bagian tengah dan cukup jauh dari pelabuhan lainnya yang berada di pesisir
Utara Jawa, yaitu pelabuhan Jepara, Tuban dan Surabaya di sebelah timur, serta
pelabuhan sunda kelapa (Jayakarta) dan banten di sebelah barat. Sehingga
tidaklah aneh apabila pelabuhan Cirebon merupakan mata rantai dalam jalur
perdagangan di kepulauan nusantara dan perairan asia.[7] Letak geografis yang strategis sangat
memungkinkan Cirebon mempercepat laju pertumbuhan dan pengembangan daerahnya.
Sehingga Cirebon menjadi Bandar pelabuhan yang diperhitungkan keberadaanya. Di
samping factor geografis, kemajuan pelabuhan Cirebon dapat dikatakan kaya akan
sumber daya alam, manusia serta kegiatan data bidang ekonomi dan politik. Munculnya
pemukiman penduduk yang kemudian berkembang menjadi ibukota Kesultanan Cirebon,
disebabkan sepanjang pesisirnya menghasilkan , terutama dalam komoditas udang.
Dari hasil laut inilah dapat diproduksi bahan pangan berupa petis dan terasi,
yang di buat secara besar-besaran, dan komoditas ekspor di pelabuhan Cirebon (Ekadjati
1992, : 46). Dilihat dari daratan Cirebon juga terdapat wilayah yang
menghasilkan barang-barang ekspor di pelabuhan, daerah yang berperan besar
dalam hasil alam, terutama di pedalaman dalam lingkup wilayah Cirebon. Cirebon
dikelilingi oleh wilayah yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi yang
subur, bahkan daerah pegunungan dengan beberapa buah Gunung Berapi seperti
Gunung Ciremai dan gunung Tampomas. Dari wilayah ini dihasilkan beraneka ragam
hasil pertanian dalam jumlah yang besar, sebagai komoditas ekspor impor dari
dan ke Cirebon dengan kwantitas yang cukup besar dan frekwensi yang cukup
tinggi, apabila kita lihat di atas bahwa Cirebon merupakan kota pelabuhan besar
dan ramai. Kondisi semacam ini dapat terbentuk apabila ditopang dengan adanya
system pemerintahan yang teratur seperti penduduk yang relative banyak dan
berkualitas, dengan keahlian yang beraneka ragam (sejarah Cirebon abad 1,
hlm 48.).[8]
Gambar 1.2: Peta Kesultanan
Banten dan Cirebon Masuk di Dalam Wilayahnya
Cirebon Sebagai Bandar Niaga’’
Cirebon yang letak geografisnya di daerah pesisir pantai
Utara Jawa tentu saja termasuk dalam dalam mata rantai perdagangan jalur
internasional pada masa itu. Mengenai peranan Cirebon sebagai Bandar niaga di
jelaskan oleh Mills (1970: 14--23) dengan memberikan tafsiran bahwa
Cheng Ho ketika melakukan ekspedisi ketujuh antara tahun 1431-1433 M, dalam
perjalanan kembali dari Surabaya ke Palembang melalui beberapa pelabuhan di
pantai utara Jawa, yaitu Tanmu (Demak),Wu-Chueh (Pekalongan), Che-Li-We
(Cirebon), dan Chia-Lu-Pa (Sunda Kelapa). Hal itu juga di tegaskan dalam
catatan perjalanan tome pires pada dasawarsa kedua abad ke 16 dengan menyebutkan
adanya jaringan Bandar-Bandar niaga penting di sepanjang pantai utara dan pantai
Timur Jawa, yaitu Chereboam (Cirebon), Japura (Cirebon), Locarj (Losari),
Tetegual (Tegal), Camaram (Semarang), Demaa (Demak), Tidumar, Japara (Jepara),
Ramee (Rambang), Cedayo (Sedayu), Agacij (Gresik), Curubaya (Surabaya), Gamba
(Garuda di Pasuruan), Blambangan, Pajarucam (Pajarakam), Camta, Panatunca
(Panarukan), Chamdy. (cartesao, 1994 : 166).[9]
Cirebon sebagai Bandar niaga yang berperan dalam perdagangan
internasional tentunya tidak dapat diragukan lagi, kedatangan kapal-kapal asing
di Cirebon memperjelas keterkaitan Cirebon dalam perdagangan internasional.
Dengan Bandar-bandar seperti banten, pontang, tanggerang, Sunda Kelapa, dan Chi
Manuk yang diberitakan oleh Tom Pires (1512--1515), sebagai Bandar kerajaan Sunda
maka Bandar Cirebon masuk dalam kerajaan tersebut, Cirebon masuk dalam jaringan
perdagangan internasional atau pasar dunia sekalipun tidak seperti Bandar
Banten dan Sunda Kelapa. (Uka Tjandrasasmita: 1957: 7).[10]
Sejak Cirebon dibangun oleh walangsungsang atau Ki Samadullah atau Cakrabumi
sebagai kuwu terlebih lagi setelah syarif hidayatullah memegang kekuasaan di
Cirebon, Bandar Cirebon semakin ramai dan baik untuk perhubungan laut antar pedagang
internasional seperti Arab dan China, kepesatan perkembangan pelabuhan Cirebon
didukung pula oleh politik ekspansi kerajaan Islam di bawah pimpinan demak,
untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan kerajaan pajajaran. Setelah banten dikuasai
tahun 1526, dan sunda kelapa tahun 1527 maka seluruh pesisir utara Jawa Barat telah
berada di tangan kekuasaan Islam. Akibat politik ini sudah tentu Bandar-bandar
tersebut termasuk Cirebon merupakan tempat jaringan perdagangan
internasionalatau pasar Dunia yang menjadi sumber penghasilan kerajaan-kerajaan
Islam yang sedang tumbuh dan berkembang yang terbentang dari Demak, Cirebon
hingga Banten. (Uka Tjandrasasmita. 1995: 13).[11]
Sejak dini Cirebon sebagai Bandar niaga internasional juga telah membangun
hubungan perdagangan dengan Malaka pada abad ke-16.[12]
Gambar 1.3: Peta Kuno Asia Tenggara
Hubungan Pelabuhan Dengan Pelabuhan
Kota-kota pelabuhan berperan sebagai pusat ekonomi di
wilayahnya, dengan fungsinya sebagai jalur-jalur impor dan ekspor ke daerah
pedalaman yang terpencil, yang dihubungkan dengan jalur sungai dan darat. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat T.D. Sudjana, 1995: 1), yang manyatakan
bahwa terbentuknya pelabuhan sangat dimungkinkan oleh adanya kebutuhan jasa
angkutan, berkenaan dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi
kelautan, berangkat dari pandangan suatu pelabuhan minimal harus memenuhi
syarat tiga kriteria dasar yang harus berlangsung dan berlanjut, yitu:
1. Adanya
hubungan antara pasar dunia dengan pasar domestik
2. Adanya
hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman dalam konteks keluar masuknya
barang, terbentuknya jalur-jalur transportasi, dan terbentuknya pusat-pusat
pengumpulan barang dagangan di tempat-tempat tertentu
3. Hubungan
antara kegiatan pelabuhan dengan pembentukan kota pelabuhan itu sendiri.
Demikian halnya dengan Cirebon, sebagai kota pelabuhan
Cirebon merupakan tempat yang menghubungkan dua dunia, yitu daratan dan lautan.
Dari sudut pandang ekonomi, pelabuhan Cirebon ini berfungsi sebagai tempat
penampungan surplus dari wilayah pedalaman untuk didistribusikan ke
tempat-tempat lain yang lebih membutuhkan. Begitupula sebaliknya pelabuhan
Cirebon pun berfungsi sebagai tempat penampungan barang-barang dari
tempat-tempat lain yang tidak dapat dihasilkan oleh wilayah pedalaman yang
sangat dibutuhkan. Adanya kebutuhan yang timbal balik itu membuat pelabuhan dan
pedalaman pada posisi saling membutuhkan satu dan lainnya saling menopang.
Untuk itulah sarana dan prasarana transportasi dibangun agar memudahkan arus
barang baik dari pelabuhan maupun ke pelabuhan lain. Dalam tulisan Ekadjati,
dkk (1992:45), sebagai berikut:
Hubungan ke daerah pedalaman
terjalin melalui sungai dan jalan darat. Bahwa peranan sungai di Cirebon
sebagai jalan lalu lintas yang dapat dilayani perahu atau kapal kea rah
pedalaman, disaksika oleh Tome Pires pada tahun 1513 (corteso, 1994: 183),
mungkin sungai yang dimaksud adalah sungai krian (sekarang) yang dapat dilayari
sampai Cirebon Girang, Sungai Cimanuk di sebelah utara sungai cilosari di
sebelah timur berperan sebagai menghubungkan daerah pesisir dengan daerah
pedalaman di wilayah Cirebon.[13]
Pelabuhan Cirebon memang didukung
oleh daerah pedalaman yang diandalkan sebagai pemasok logistik dan bahan-bahan
pertanian. Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah
penyangga tanah yang subur dan terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi,
bahkan daerah pegunungan dengan beberapa buah gunung berapi, seperti gunung
Ciremai, Gunung Tampomas dan Gunung Sawal, dari wilayah ini dihasilkan produksi
pertanian dalam jumlah yang besar, seperti sayur-mayur, buah-buahan,
macam-macam daging, serta padi. Komoditas dari bahan kayu menjadi barang
komoditas ekspor yang banyak dihasilkan dari daerah pedalaman ini, Cirebon di
kenal sebagai daerah pemasok beras di pulau Jawa.
Dengan banyaknya dari manca Negara
ke pelabuhan Cirebon tentu saja banyak barang-barang dari luar masuk ke
Cirebon. Barang-barang itulah yang sangat di butuhkan oleh masyarakat di
wilayah pedalaman, sebab masyarakat pedalaman tidak dapat memproduksi barang-barang
tersebut, adapun barang-barang tersebut meliputi logam, besi, emas dan perak.
Serta bahan tekstil halus seperti sutra dan barang-barang keramik halus. Di
samping barang-barang impor, ada juga barang produksi khas daerah pantai yang
sangat di butuhkan oleh masyarakat pedalaman yaitu. Garam, terasi dan ikan
asin.[14]
Kondisi Perdagangan di Pelabuhan
Dari catatan Tome Pires dapat
diketahui bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang bagus dan ramai, banyak kapal
berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 junk dan beberapa lancana. Mengenai
kapal, Tome Pires hanya mencatat junk dan lancana, sebab pada masa itu berlaku
tradisi menilai sebuah pelabuhan dari kemampuannya dilabuhi kapal besar yaitu
yang dinamakan junk dan lancana, dengen demikian, kapal-kapal atau
perahu-perahu berukuran di bawah junk dan lancana tidak dicatat, namun
keberadaan kapal-kapal kecil itu dipastikan lebih banyak, keramaian pelabuhan
Cirebon lebih terlihat lagi dari jumlah penduduknya yang mencapai 1000 jiwa
dengan 5 atau 6 saudagar, salah satunya Pate Quedir seorang saudagar yang
cerdik, berani dan dihormati.[15]
Untuk lebih menguatkan barang dagang di pelabuhan Cirebon dapat dilihat dalam
naskah Negarakertabumi, dalam naskah tersebut disebutkan bahwa:
Pada tahun 1337 saka (1415/6
masehi) Muhara Jati kedatangan Armada China yang dipimpin oleh Cenhua
(Laksamana), Man-Wan (Juru Tulis), Ong Keng-Hong (Juru Mudi). Kun Way-Ping
(panglima). Pey Sin (juru tulis). Mereka
adalah utusan maharaja China Yuwan-Lo (yung-lo) dari wangsa ming. Dalam
rombongannya itu terdapat juga beberapa orang pembesar Kerajaan Wilwatika yang menjadi duta swarnabhumi. di
Muhara Jati armada itu berhenti untuk mendapatkan perbekalan. Atas persetujuan
antar kedua belah pihak, di Muhara Jati didirikan sebuah menara sebagai
imbalan, pihak China mendapatkan perbekalan yang diperlukan berupa garam,
terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati (Atja. 1986: 37).
Jelaslah bahwa garam, terasi, beras
tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati mempunyai daya tukar yang tinggi, oleh
sebab itu menjadi komoditas andalan bagi Cirebon, sedangkan untuk komoditas
yang didatangkan ke Cirebon dapat diketahui dari keterangan yang terdapat dalam
Cerita Purwaka Caruba Nagari yaitu logam, besi, perak, emas, sutra dan
keramik halus. (dartono, 1991: 20).[16]
Sistem Pertukaran Barang
Dalam perdagangan di pelabuhan
Cirebon, selain menggunakan mata uang China sebagai alat tukar, ada jalinan
lain sebagai alat tukar mata uang yaitu mata uang portugis yang dikenal sebagai
Crusado, uang malaka yang disebut Calais dan uang local yang diberi nama
tumdaya atau tail (cortesoa. 1967: 70), namun di sayangkan diantara mata uang
yang beredar tersebut tidak jelas mata uang mana yang dijadikan sumber ukuran.
Diantara mata uang tersebut terdapat perbandingan nilai yaitu misalnya dalam
mata uang china yang memiliki nilai kecil diberi lubang ditengahnya, sehingga
dalam mata uang China tersebut dapat dibuat ikatan sampai seratus buah, setiap
ikatan yang memuat 100 keping uang logam tersebut memiliki nilai tukar yang
sama dengan lima Calais Malaka. Untuk mata uang dengan nilai besar terdapat
juga nilai mata uang emas yang nilainya sama dengan 3000 calais atau 9 crusados
(raharjo dkk, 1994: 32). Namun demikian, betuk awal lalu lintas uang nusantara
(Hindia Belanda), sudah ada sejak ada sebelum kedatangan kebudayaan Hindia
(tahun 400 sesudah masehi), meskipun zaman Hindu bentuk uang yang digunakan
berupa koin emas dan koin perak, demikian pula pada periode awal kerajaan Islam
terutama di daerah-daerah pantai yang termasuk jalur perdagangan atau jalur
perdagangan sekunder dikenal berbagai jenis uang seperti di Banten berupa perak
dan tembaga, Sumenep bahan celup yang dioleskan pada bahan kain yang sudah
dipakai, Cirebon takaran kecil dari timah yang disebut picis, Aceh (para
penguasa sering berkumpul untuk melaksanakan pencetakan uang), Palembang
(timah), Jambi (timah, seperti Palembang dan Cirebon yang disebut picis),
Bangka (timah), Pontianak (tembaga dan timah), Mempawa (timah), Banjarmasin
(tembaga), dan Sulawesi (emas dan timah hitam). (P.Creutzberd and J.T.M van
Laanen Ceds 1980).[17]
Dalam catatan orang belanda yang
dinamakan dagh register’’, pada tahun 1632 pada 30 april memberitakan tentang 4
atau 5 ribu orang dari mataram dan 1000 orang dari Cirebon dibawah pimpinan orang kaya Mattassary
dikabarkan akan menuju Batavia. Pada waktu itu diberitakan bahwa 50 kapal dari
Cirebon dengan muatan beras memasuki sebelah timur karawang. Demikian pula pada
tanggal 7 mei 1632 datang perahu-perahu dari Cirebon dan kapal Melayu membawa
gula dan lain-lain, yang diduga oleh belanda untuk dipergunakan di Batavia,
sera pada tanggal 12 mei 1632 diberitakan bagwa kapal Melayu dari Cirebon membawa
muatan gula, minyak dan lain-lain. Selain perdagangan dari Cirebon ke Batavia
ternyata Cirebon masih melakukan perdagangan dengan daerah-daerah lain seperti
tiku yang terletak di sumatera barat[18]
dan pada abad 16 juga Cirebon melakukan perdagangan ke malaka.[19]
Dagh register tahun 1633 tanggal 28 maret pemberitahuan bahwa di tiku
terdapat dua buah perahu Cirebon yang akan membawa 1000 atau 5000 pikul lada.
Demikian juga diberitakan pada tanggal 16 april 1633 ada 2 buah junk milik Raja
Cirebon berlayar dari selebar mengalami kerusakan karena menabrak karang. Pada
tanggal 30 april 1633 diberitakan ada kapal melewati Selat Sunda yang akan
menuju Cirebon (Dagh Register 1633 hlm 291-418).[20]
Dalam catatan Dagh Register tanggal 19 desember 1633 diberitakan adanya
kapal-kapal yang dari Cirebon ke Batavia, membawa gula, asam dan beras. Pada
tahun 1634 tanggal 9 dan 26 Oktober terdapat pula pemberitaan adanya
kapal-kapal dari Cirebon yang tiba di Batavia dengan muatan gula dan beras,
yang menarik perhatian adalah catatan pada tanggal 8 oktober 1632 yang
menyatakan kedatangan 20 kapal junk di Batavia bermuatan penuh munyak kelapa,
gula hitam, beras dan sejumlah besar buncis putih dengan nahkodanya bernama Simkeij,
berikutnya pada tanggal 23 oktober 1634 tercatat 4 buah kapal Cirebon dan
jepara membawa beras, bebek, gula hitam, daging kijang, buah-buahan (mangga,
pisang dll), (Dagh Register 1634 hlm 291 - 438). Dagh register tahun
1675 semakin melengkapi bukti-bukti adanya perdagangan yang berasal dari Bandar
Cirebon. Tanggal 30 april 1675 terdapat 25 kapal dari Cirebon dengan 1067 orang
tiba di Batavia membawa 38.000 potong arax pullenkers, 10 pot ibung asinan, 287
karung gula hitam, 1.717 karung beras, 155 pot minyak, 25 sak kapas, 10.000
butir telur asin, 10 karung gula putih, 1.300 ikat padi, 2 pikul tembakau jawa,
1.100 pot, 250 bakul kosong begal, 30 cardemango dan 200 lembar kulit kerbau.
Sedangkan kapal yang menuju Cirebon berjumlah 14 buah dengan membawa pakaian
seharga 135 rds, porselin seharga 760 rds, amphium seharga 700 rds, Slaafkooper
seharga 760 rds dan uang kontan senilai 50 rds. Selanjutnya, dagh register
mencatat pada tahun 1670, 1677 dan 1678 mencatat bahwa kapal-kapal yang berasal
dari Bandar Cirebon yang tiba di Batavia
memperdagangkan komoditas yang hampir sama dengan barang-barang yang pernah
diperdagangkan di Batavia (Departemen dor Bulegelike Openbaare Werken, 1920:
87-90).[21]
Dimulai pada tahun 1619 dengan
menguasai Jayakarta, maka sampai tahun 1780 VOC telah berhasil menguasai
seluruh jalinan perdagangan dan pelayaran di Jawa. VOC melarang sector swasta
di Jawa untuk menjalankan pengangkutan perdagangan rempah-rempah dari Maluku,
bahkan VOC melakukan monopoli impor dan ekspor bagi komoditas-komoditas
penting. Untik memaksimalkan keuntungan, VOC memberlakukan peraturan pembatasan
tanda berlayar dengan tujuan di pulau Jawa. Akan tetapi di empat pelabuhan
yaitu pelabuhan Surabaya, Gresik, Cirebon
dan semarang sebuah kapal dapat mendapatkan dokumen berlayar dengan
tujuan luar negeri yang lokasinya di selat malaka dan pulau Sulawesi. Seorang
nahkoda kapal menginginkan izin untuk berlayar lebih lama dengan tujuan yang
jauh, ia hanya akan mendapatka dokumen itu di Batavia.[22]
Dari total keseluruhan volume tahunan di seluruh pelabuhan yang ada di pulau
jawa mencapai 600.800 ton dimana Batavia sevagai pangakalan pelabuhan utama di VOC
menduduki temoat pertama (40 %), diikuti oleh semarang di tempat kedua, rembang
di tempat ketiga, sedangkan Cirebon di tempat ke tujuh. Mengenai komoditas
ekspor per tahun, dari seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa (knap, 1995:
12), memberikan ilustrasi sebagai berikut: lada hitam 23.000 pikul, kopi
43.000 pikul, gula tepung 57.000 pikul, beras 427.000 pikul, papan kayu 126.000
pikul, arak 15.000 Cellaret, kayu gelondongan 56.000 potong, garam 142.000
pikul, tembakau Jawa 17.000 pikul, pakaian jawa 146.000 pikul dan gula Jawa
22.000 pikul, dan semua itu dimiliki oleh VOC dari berbagai pelabuhan termasuk
Cirebon.[23]
Sarana Transportasi Pelabuhan
Cirebon sebagai Bandar pelabuhan
yang secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis masyarakatnya
memiliki tradisi maritime yang kuat. Posisinya di malaka ke Maluku mendorong
pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan transito internasional pada masanya.
Keadaan itu didukung pula oleh kondisi masyarakat Cirebon yang telah mempunyai
tradisi maritime yang bentuknya berupa teknologi pembuatan perahu, kemampuan
itu melahirkan berbagai jenis perahu, seperti perahu layar, perahu bercadik,
perahu lesung dan rakit. Cirebon sebagai kerajaan maritime dengan pelabuhannya
yang besar dan ramai , mengenai hal itu tome pires mencatat bahwa pada tahun
1513 merupakan pelabuhan yang baik, setiap waktu ada 3 atau 4 jung (sejenis
perahu besar), yang berlabuh di Cirebon, sedangkan lancana (sejenis perahu di bawah
junk/ lebih kecil dari junk), jung dapat berjalan hingga 9 mil menyusuri
sungai. (Ekadjati, 1984: 90, Dartono, 1991: 16). Dari catatn Tome Pires
tersebut tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan
yang cukup besar dan ramai, jauh lebih besar dan ramai bila di bandingkan
dengan demak. Hal itu didasarkan pada ukuran besar kecilnya sebuah pelabuhan
pada masa itu yang dinilai atas kemampuannya untuk dilayari jenis perahu junk.
Pelabuhan Cirebon yang diduduki oleh adanya sungai bondet dapat dilayari oleh
perahu junk sejauh 9 mil sedangkan di demak meskipun memiliki banyak sengai
tetap tidak dapat dilayari perahu junk, kecuali pada saat air sungai penuh, (carteaso,
1967: 186).[24]
Dari uraian di atas bahwa Cirebon
sebagai pelabuhan transit internasional, yang dilabuhi oleh berbagai jenis
perahu baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar. Perahu kapal yang
berukuran besar diabratanya meliputi, Junk, Lancana, Pangjava, Brigantine,
Shallop dan Pinisi. Sedangkan perahu kecil meliputi: Pencalong, Cunea, Mayang,
lesung, Sampan, Sope, Jegong, Tembon, Bondet, Konting, Jukung, Katir, Prawean,
Lete, Janggolan dan Lambo. Secara umum perahu-perahu yang ada di sepanjang
pantai utara pulau Jawa dan Madura, juga terdapat di pelabuhan Cirebon.[25]
Mengenal asal Negara atas
kapal-kapal yang datang dan pergi dari Cirebon sampai tahun 1929 menurut uka
tjandrasasmita (1995:23) ialah 60 % dari Nederland, 11 5 england, 5 % dari
jepang sedangkan kapal-kapal Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia dan China
berjumlah 21 %.[26]
KESIMPULAN
Cirebon sebagai bandar niaga sekaligus bandar transi
internsiaonal, banyak berperan dalam dalam kemajuan kemaritiman Asia Tenggara,
khususnya di regional laut Jawa, sebagai Bandar niaga tidak terlepas dari
perkembangan dunia internasional, yang disebabkan oleh adanya Motif Ekonomi,
Politik dan Agama, motif Ekonomi mendorong berbagai bangsa untuk mencari
komoditas yang berharga dan bernilai tinggi, tidak peduli sejauh mana
keberadaan komoditas tersebut. Yang dengan demikian banyak para saudagar dan
pedagang semangat dalam misi perdagangan di kawasan yang penting termasuk
kawasan regional Cirebon dan laut Jawa. Peran Cirebon sebagai Bandar niaga di
jalur Sutra, hendaknya dipahami dalam perkembangan dunia internasional
kemaritiman, untuk itulah Cirebon yang besar dari pelabuhan dapat dikatakan
memiliki tiga peran yaitu pusat perubahan peradaban , pusat alkulturasi budaya
dari berbagai bangsa dan pusat budaya yang di mana adanya pertemuan dari berbagai
tempat dann belahan di dunia maritim internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul, Munir. 2010.’’ Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: amzah.
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya,
Jaringan Asia Jilid II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota
Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998.
Dr, Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Djoko Pramono, Budaya Bahari, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Prof. Dr. Taufiq Abdullah, Prof. Dr, A.B.
Lapian, dkk. Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Peradagan Sslam,
Jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven atas kerja sama dengan
kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2012.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia,
1975,’’ Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam, Sejarah Nasional
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
[2] Amin, Samsul, Munir. 2010.’’ Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
amzah, hlm 338
[3] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998., hlm 47-48.
[4] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm 56.
[5] Prof. Dr. Taufiq Abdullah, Prof. Dr, A.B. Lapian, dkk. Indonesia
Dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Peradagan Sslam, Jilid 3, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeven atas kerja sama dengan kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. 2012.
hlm 39.
[6] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 1975,’’ Pertumbuhan dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, hlm 59
[7] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 71.
[8]Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 71 dan 73
[9] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 50-51
[12] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm 56
[13] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 52-53.
[14] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998.hlm 53-54.
[15] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 55
[16] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 56
[17] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 58
[18] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 59
[19] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm 56
[20] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998.hlm 59
[21] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 60
[22] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 61
[23] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 62
[24] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. 64-65
[25] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 68
[26] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 69
0 komentar:
Posting Komentar