Senin, 06 Oktober 2014

CIREBON SEBAGAI KOTA DAGANG DAN BANDAR JALUR SUTRA



Abstrak
Cirebon adalah kota yang terletak di tepi sungai yang menghubungkan ke pelabuhan, dan sebagai jalur sutra perdagangan di pantai utara jawa, pelabuhan Cirebon juga sebagai persinggahan kapal-kapal dari Banten yang menuju wilayah timur Indonesia, dalam makalah saya ini akan membahas mengenai pelabuhan Cirebon serta komoditas perdagangan yang sebagai jalur sutra persinggahan kapal-kapal dari timur dan barat Indonesia. Bagaiamana kegiatan di pelabuhan Cirebon? Komodtas apa saja yang di perjual belikan di pelabuhan, bagaimana perjalanan kesultanan Cirebon dalam memajukan pelabuhan?. Komoditas apa yang menjadi andalan di pelabuhan Cirebon? Uraian di atas akan di bahas lebih lanjut dalam makalah ini.
Keyword: sejarah singkat kesultanan Cirebon, pelabuhan, komoditas perdagangan, dan hasil alam.

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa barat, yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati, di awal abad ke 16, Cirebon masih merupakan daerah kecil di bawah kekuasaan pakuan pajajaran.[1] Setelah Cirebon resmi berdir sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan pajajaran, sunan gunung jati berusaha meruntuhkan pajajaran yang masih belum Islam.[2] Dilihat pada masa pra Islam Cirebon tidak terlepas dari iconnya sebagai kota dan sekaligus sebagai Bandar belabuhan, sejak awal kehidupan perairan sudah melekat di kota ini, cikal bakal Cirebon berawal pada awal abad kelima sejalan dengan program pembangunan sungai-sungai di seluruh Jawa Barat oleh purnawarman. Program pembangunan itu berupa memperkokoh, memperlebar dan memperdalam sungai yang dilakukan oleh seluruh masyarakat sebagai karya bakti, pelaksanaannyadimulai dengan memperkokoh tepian sungai gangga di wilayah indraprahasta (Cirebon Girang), yang dilakukan pada 12 Kresnapaksa Posyamasa (Desember-Januari), tahun 332 saka (411 masehi).(Atja dan Ayatrohaedi, 1986: 31), terdapat informasi dari kitab Purwaka Caruba Nagari (KPCP), disebutkan bahwa sungai gangga berada di wilayah nagari wanagiri di bawag pimpinan prabu Indraprahasta, yang merupakan nagari otonom, nagari itu pada abad ke 14 terpecah-pecah menjadi nagari-nagari kecil yang dipimpin oleh ki gedeng-ki gedeng dan prabu-prabu yang kemudian tunduk pada Kerajaan Galuh. Dalam KPCP dijelaskan bahwa armada China transit di Muara Jati untuk membeli perbekalan, baik air bersih maupun bahan pangan untuk melanjutkan perjalanan ke majapahit, Cirebon sebagai Bandar dagang transit masa itu, akan tetapi dalam perjalannya Cirebon melui penguasanya yaitu ki gedeng tapa dan te ho berhasil menjalin kerja sama dalam pembuatan mercusuar di pelabuhan Cirebon. Pihak China rupanya tertarik dengan pelabuhan Cirebon, hal itu terlihat selain dari kesediaan mereka dalam pembuatan mercusuar, mereka juga membuka perwakilan dagang china untuk Nagari Singapura (Cirebon). Pembukaan itu memang didasarkan pada kenyataan bahwa cirebon merupakan pelabuhan yang ramai sebagai tempat persinggahan para pedagang dari penjuru nusantara bahkan secara internasional, karena Cirebon sebagai Bandar transit di utara pulau Jawa, yang banyak pedagang melakukan perjalanan ke kawasan timur seperti Maluku yag kaya akan rempah-rempah, serta ke kawasan pelabuhan Majapahit di Jepara, tuban dan Gresik. Setiap hari di pelabuhan Cirebon ramai dengan orang berjual berjual beli dan banyak kapal berlabuh di pelabuhan muara jati, diantara mereka hadir dari berbagai negeri yaitu dari china, arab, Persia, India, malaka, tumasik, pasai, jawa timur, Palembang (sumardjo, 1983 : 16), keramaian itu tentu saja tidak terlepas dari perkembangan perdagangan internasional, khususnya yang berhubungan dengan jalur sutera, telah diketahui bahwa hasrat akan sutra china yang berkilau, yang katanya seharga harga emas, membuka jalan bagi jalur sutra di daratan dan laut dengan panjang kurang lebih 6.400 km, melintasi asia dan laut dari barat ke timur selama berabad-abad. Kendatipun komoditas perdagangan tidaklah hanya sutra saja yang di perdagangkan, bahkan di pelabuhan ini turut bertemunya berbagai bangsa-bangsa internasional dan perdagangan seperti rempah-rempah, buah-buahan, porselin, mesiu dan lain sebagainya, dan lebih jauh lagi jalur sutra ini menyebabkan terjadinya kontak social, Budaya dan Agama.[3]

B.  Pembatasan Rumusan Masalah
Kami di makalah ini akan lebih mengarah pada pembahasan mengenai pelabuhan dan kegiatan perdagangan di Cirebon pada masa awal berdiri hingga masa kolonial Belanda menguasai perdagangan di Cirebon, hal ini tentu saja di lihat dari aspek perdagangan laut, melalui perdagangan di pelabuhan Cirebon, serta hubungan antar pelabuhan di wilayah lain selain Cirebon dan kontak perdagangan dengan para pedagang internasiobal.
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah saya ini, mengungkap mengenai perdagangan di pelabuhan Cirebon dari masa awal terbentuk hingga masa kolonial belanda hadir, serta memberikan informasi mengenai Cirebon sebagai kota pelabuhan di jalur sutra tepatnya pantai uutara jawa, disamping itu juga dimaksudkan untuk mempelakari hubungan antara kota pelabuhan dengan perkembangan dan kemajuan perdagangan masa itu. Dalam penulisan ini akan mengungkap pada komoditas perdagangan di pelabuhan, system pengelolaan pelabuhan dan teknologi transportasi yang mendukung Cirebon sebagai Bandar kota pelabuhan.
D. Manfaat Penulisan
Tentu saja manfaat dari penulisan makalah saya ini untuk memberikan informasi mengenai hiruk pikuk perdagangan maritime di pelabuhan Cirebon pada masa awal terbentuk hingga kolonial hadir di pelabuhan Cirebon, dan memberikan informasi khususnya bagi masyarakat umum untuk melihat kejayaan peradaban pada masa itu, sebagai sebuag pelajarah untuk di masa kini, terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan di kelautan.
E.  Metodologi Penulisan
Saya mengambil metode penulisan dari sumber buku sejarah nasional Indonesia, budaya bahari, sejarah peradaban Islam, Indonesia dalam arus sejarah dan buku kota Cirebon sebagai Bandar jalur sutra, semua buku ini di jadikan sebagai bahan rujukan dan di pilah dan di pilih untuk melengkapi bahan makalah ini.
F.  Sistematika Penulisan
Dalam Bab I menjelaskan mengenai pendahuluan yang mengandung pokok persoalan yang akan di jelaskan secara luas di makalah ini, sebagaimana yang sudah di uraikan di awal.
Dalam Bab II menjelaskan perdagangan maritim di pelabuhan, komoditas yang di perdagangkan serta perjalanan singkat Cirebon sebagai kota Bandar dan kesultanan Islam.
Dalam Bab III merangkum dan mengupas pembahasa makalah ini sebagaimana yang sudah di terangkan dalam Bab II

BAB II
PEMBAHASAN
Informasi Umum Tentang Cirebon
Dalam laporan tome pires kira-kira enpat puluh tahun dibawahi oleh demak dan yang penduduknya kira-kira seribu orang, nama asli Cirebon berasal dari nama caruban yang artinya ‘’tempat pertemuan’’, persinggahan jalan. Dalam sebuah naskah Jawa yang diperkirakan relative baru pada tahun 1720 yaitu Purwaka Caruban Nagari merinci berbagai bangsa sering mengunjungi pelabuhannya dari awal mula, ‘’orang China, Arab, Persia, India orang dari Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang’’.[4] kehadiran Tome Pires (1512-1515) sekitar tahun 1513, diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Penguasa Cirebon adalah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon juga termasuk kerajaan yang mempunyai peran dalam ekspor bahan pangan seperti beras dan bahan makananan  lainnya. Cirebon pada masa itu penduduknya sudah mencapai 1000 orang. Pate Quitir yang dahulu memberontak di Kampong Upeh (Malaka)- berdiam di Cirebon sebagai pedagang besar yang disegani oleh para pedagang lainnya bahkan oleh Raja Cirebon.[5] Yang menari dalam catatan Tome Pires bahwa Islam sudah hadir di Cirebon ini 40 tahun sebelum kedatangannya. Perhitungan tahun hadirnya Islam di Cirebon berdasarkan berita itu dapat diperkirakan antara tahun 1470-1475 M. perkiraan islam hadir di Cirebon tersebut dapat dibandingkan dengan sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban nagari karya pangeran Arya Carbon tahun 1720 M.[6]

Gambar 1.1: Peta Karesidenan Cirebon Raya
Cirebon adalah salah satu kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara jawa barat, secara geografis Cirebon sangat strategis. Kota pelabuhan ini terletak di lokasi yang berbentuk teluk sehingga terhindung dari gangguan alam berupa gelombang air laut. Lokasi pelabuhan ini terletak di bagian tengah dan cukup jauh dari pelabuhan lainnya yang berada di pesisir Utara Jawa, yaitu pelabuhan Jepara, Tuban dan Surabaya di sebelah timur, serta pelabuhan sunda kelapa (Jayakarta) dan banten di sebelah barat. Sehingga tidaklah aneh apabila pelabuhan Cirebon merupakan mata rantai dalam jalur perdagangan di kepulauan nusantara dan perairan asia.[7]  Letak geografis yang strategis sangat memungkinkan Cirebon mempercepat laju pertumbuhan dan pengembangan daerahnya. Sehingga Cirebon menjadi Bandar pelabuhan yang diperhitungkan keberadaanya. Di samping factor geografis, kemajuan pelabuhan Cirebon dapat dikatakan kaya akan sumber daya alam, manusia serta kegiatan data bidang ekonomi dan politik. Munculnya pemukiman penduduk yang kemudian berkembang menjadi ibukota Kesultanan Cirebon, disebabkan sepanjang pesisirnya menghasilkan , terutama dalam komoditas udang. Dari hasil laut inilah dapat diproduksi bahan pangan berupa petis dan terasi, yang di buat secara besar-besaran, dan komoditas ekspor di pelabuhan Cirebon (Ekadjati 1992, : 46). Dilihat dari daratan Cirebon juga terdapat wilayah yang menghasilkan barang-barang ekspor di pelabuhan, daerah yang berperan besar dalam hasil alam, terutama di pedalaman dalam lingkup wilayah Cirebon. Cirebon dikelilingi oleh wilayah yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi yang subur, bahkan daerah pegunungan dengan beberapa buah Gunung Berapi seperti Gunung Ciremai dan gunung Tampomas. Dari wilayah ini dihasilkan beraneka ragam hasil pertanian dalam jumlah yang besar, sebagai komoditas ekspor impor dari dan ke Cirebon dengan kwantitas yang cukup besar dan frekwensi yang cukup tinggi, apabila kita lihat di atas bahwa Cirebon merupakan kota pelabuhan besar dan ramai. Kondisi semacam ini dapat terbentuk apabila ditopang dengan adanya system pemerintahan yang teratur seperti penduduk yang relative banyak dan berkualitas, dengan keahlian yang beraneka ragam (sejarah Cirebon abad 1, hlm 48.).[8]
Gambar 1.2: Peta Kesultanan Banten dan Cirebon Masuk di Dalam Wilayahnya
Cirebon Sebagai Bandar Niaga’’
Cirebon yang letak geografisnya di daerah pesisir pantai Utara Jawa tentu saja termasuk dalam dalam mata rantai perdagangan jalur internasional pada masa itu. Mengenai peranan Cirebon sebagai Bandar niaga di jelaskan oleh Mills (1970: 14--23) dengan memberikan tafsiran bahwa Cheng Ho ketika melakukan ekspedisi ketujuh antara tahun 1431-1433 M, dalam perjalanan kembali dari Surabaya ke Palembang melalui beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa, yaitu Tanmu (Demak),Wu-Chueh (Pekalongan), Che-Li-We (Cirebon), dan Chia-Lu-Pa (Sunda Kelapa). Hal itu juga di tegaskan dalam catatan perjalanan tome pires pada dasawarsa kedua abad ke 16 dengan menyebutkan adanya jaringan Bandar-Bandar niaga penting di sepanjang pantai utara dan pantai Timur Jawa, yaitu Chereboam (Cirebon), Japura (Cirebon), Locarj (Losari), Tetegual (Tegal), Camaram (Semarang), Demaa (Demak), Tidumar, Japara (Jepara), Ramee (Rambang), Cedayo (Sedayu), Agacij (Gresik), Curubaya (Surabaya), Gamba (Garuda di Pasuruan), Blambangan, Pajarucam (Pajarakam), Camta, Panatunca (Panarukan), Chamdy. (cartesao, 1994 : 166).[9]
Cirebon sebagai Bandar niaga yang berperan dalam perdagangan internasional tentunya tidak dapat diragukan lagi, kedatangan kapal-kapal asing di Cirebon memperjelas keterkaitan Cirebon dalam perdagangan internasional. Dengan Bandar-bandar seperti banten, pontang, tanggerang, Sunda Kelapa, dan Chi Manuk yang diberitakan oleh Tom Pires (1512--1515), sebagai Bandar kerajaan Sunda maka Bandar Cirebon masuk dalam kerajaan tersebut, Cirebon masuk dalam jaringan perdagangan internasional atau pasar dunia sekalipun tidak seperti Bandar Banten dan Sunda Kelapa. (Uka Tjandrasasmita: 1957: 7).[10] Sejak Cirebon dibangun oleh walangsungsang atau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu terlebih lagi setelah syarif hidayatullah memegang kekuasaan di Cirebon, Bandar Cirebon semakin ramai dan baik untuk perhubungan laut antar pedagang internasional seperti Arab dan China, kepesatan perkembangan pelabuhan Cirebon didukung pula oleh politik ekspansi kerajaan Islam di bawah pimpinan demak, untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan kerajaan pajajaran. Setelah banten dikuasai tahun 1526, dan sunda kelapa tahun 1527 maka seluruh pesisir utara Jawa Barat telah berada di tangan kekuasaan Islam. Akibat politik ini sudah tentu Bandar-bandar tersebut termasuk Cirebon merupakan tempat jaringan perdagangan internasionalatau pasar Dunia yang menjadi sumber penghasilan kerajaan-kerajaan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang yang terbentang dari Demak, Cirebon hingga Banten. (Uka Tjandrasasmita. 1995: 13).[11] Sejak dini Cirebon sebagai Bandar niaga internasional juga telah membangun hubungan perdagangan dengan Malaka pada abad ke-16.[12]
Gambar 1.3: Peta Kuno Asia Tenggara
Hubungan Pelabuhan Dengan Pelabuhan
Kota-kota pelabuhan berperan sebagai pusat ekonomi di wilayahnya, dengan fungsinya sebagai jalur-jalur impor dan ekspor ke daerah pedalaman yang terpencil, yang dihubungkan dengan jalur sungai dan darat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat T.D. Sudjana, 1995: 1), yang manyatakan bahwa terbentuknya pelabuhan sangat dimungkinkan oleh adanya kebutuhan jasa angkutan, berkenaan dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi kelautan, berangkat dari pandangan suatu pelabuhan minimal harus memenuhi syarat tiga kriteria dasar yang harus berlangsung dan berlanjut, yitu:
1.      Adanya hubungan antara pasar dunia dengan pasar domestik
2.      Adanya hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman dalam konteks keluar masuknya barang, terbentuknya jalur-jalur transportasi, dan terbentuknya pusat-pusat pengumpulan barang dagangan di tempat-tempat tertentu
3.      Hubungan antara kegiatan pelabuhan dengan pembentukan kota pelabuhan itu sendiri.
Demikian halnya dengan Cirebon, sebagai kota pelabuhan Cirebon merupakan tempat yang menghubungkan dua dunia, yitu daratan dan lautan. Dari sudut pandang ekonomi, pelabuhan Cirebon ini berfungsi sebagai tempat penampungan surplus dari wilayah pedalaman untuk didistribusikan ke tempat-tempat lain yang lebih membutuhkan. Begitupula sebaliknya pelabuhan Cirebon pun berfungsi sebagai tempat penampungan barang-barang dari tempat-tempat lain yang tidak dapat dihasilkan oleh wilayah pedalaman yang sangat dibutuhkan. Adanya kebutuhan yang timbal balik itu membuat pelabuhan dan pedalaman pada posisi saling membutuhkan satu dan lainnya saling menopang. Untuk itulah sarana dan prasarana transportasi dibangun agar memudahkan arus barang baik dari pelabuhan maupun ke pelabuhan lain. Dalam tulisan Ekadjati, dkk (1992:45), sebagai berikut:
            Hubungan ke daerah pedalaman terjalin melalui sungai dan jalan darat. Bahwa peranan sungai di Cirebon sebagai jalan lalu lintas yang dapat dilayani perahu atau kapal kea rah pedalaman, disaksika oleh Tome Pires pada tahun 1513 (corteso, 1994: 183), mungkin sungai yang dimaksud adalah sungai krian (sekarang) yang dapat dilayari sampai Cirebon Girang, Sungai Cimanuk di sebelah utara sungai cilosari di sebelah timur berperan sebagai menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman di wilayah Cirebon.[13]
            Pelabuhan Cirebon memang didukung oleh daerah pedalaman yang diandalkan sebagai pemasok logistik dan bahan-bahan pertanian. Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah penyangga tanah yang subur dan terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi, bahkan daerah pegunungan dengan beberapa buah gunung berapi, seperti gunung Ciremai, Gunung Tampomas dan Gunung Sawal, dari wilayah ini dihasilkan produksi pertanian dalam jumlah yang besar, seperti sayur-mayur, buah-buahan, macam-macam daging, serta padi. Komoditas dari bahan kayu menjadi barang komoditas ekspor yang banyak dihasilkan dari daerah pedalaman ini, Cirebon di kenal sebagai daerah pemasok beras di pulau Jawa.
            Dengan banyaknya dari manca Negara ke pelabuhan Cirebon tentu saja banyak barang-barang dari luar masuk ke Cirebon. Barang-barang itulah yang sangat di butuhkan oleh masyarakat di wilayah pedalaman, sebab masyarakat pedalaman tidak dapat memproduksi barang-barang tersebut, adapun barang-barang tersebut meliputi logam, besi, emas dan perak. Serta bahan tekstil halus seperti sutra dan barang-barang keramik halus. Di samping barang-barang impor, ada juga barang produksi khas daerah pantai yang sangat di butuhkan oleh masyarakat pedalaman yaitu. Garam, terasi dan ikan asin.[14]



Kondisi Perdagangan di Pelabuhan
            Dari catatan Tome Pires dapat diketahui bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang bagus dan ramai, banyak kapal berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 junk dan beberapa lancana. Mengenai kapal, Tome Pires hanya mencatat junk dan lancana, sebab pada masa itu berlaku tradisi menilai sebuah pelabuhan dari kemampuannya dilabuhi kapal besar yaitu yang dinamakan junk dan lancana, dengen demikian, kapal-kapal atau perahu-perahu berukuran di bawah junk dan lancana tidak dicatat, namun keberadaan kapal-kapal kecil itu dipastikan lebih banyak, keramaian pelabuhan Cirebon lebih terlihat lagi dari jumlah penduduknya yang mencapai 1000 jiwa dengan 5 atau 6 saudagar, salah satunya Pate Quedir seorang saudagar yang cerdik, berani dan dihormati.[15] Untuk lebih menguatkan barang dagang di pelabuhan Cirebon dapat dilihat dalam naskah Negarakertabumi, dalam naskah tersebut disebutkan bahwa:
            Pada tahun 1337 saka (1415/6 masehi) Muhara Jati kedatangan Armada China yang dipimpin oleh Cenhua (Laksamana), Man-Wan (Juru Tulis), Ong Keng-Hong (Juru Mudi). Kun Way-Ping (panglima). Pey Sin  (juru tulis). Mereka adalah utusan maharaja China Yuwan-Lo (yung-lo) dari wangsa ming. Dalam rombongannya itu terdapat juga beberapa orang pembesar Kerajaan  Wilwatika yang menjadi duta swarnabhumi. di Muhara Jati armada itu berhenti untuk mendapatkan perbekalan. Atas persetujuan antar kedua belah pihak, di Muhara Jati didirikan sebuah menara sebagai imbalan, pihak China mendapatkan perbekalan yang diperlukan berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati (Atja. 1986: 37).
            Jelaslah bahwa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati mempunyai daya tukar yang tinggi, oleh sebab itu menjadi komoditas andalan bagi Cirebon, sedangkan untuk komoditas yang didatangkan ke Cirebon dapat diketahui dari keterangan yang terdapat dalam Cerita Purwaka Caruba Nagari yaitu logam, besi, perak, emas, sutra dan keramik halus. (dartono, 1991: 20).[16]


Sistem Pertukaran Barang
            Dalam perdagangan di pelabuhan Cirebon, selain menggunakan mata uang China sebagai alat tukar, ada jalinan lain sebagai alat tukar mata uang yaitu mata uang portugis yang dikenal sebagai Crusado, uang malaka yang disebut Calais dan uang local yang diberi nama tumdaya atau tail (cortesoa. 1967: 70), namun di sayangkan diantara mata uang yang beredar tersebut tidak jelas mata uang mana yang dijadikan sumber ukuran. Diantara mata uang tersebut terdapat perbandingan nilai yaitu misalnya dalam mata uang china yang memiliki nilai kecil diberi lubang ditengahnya, sehingga dalam mata uang China tersebut dapat dibuat ikatan sampai seratus buah, setiap ikatan yang memuat 100 keping uang logam tersebut memiliki nilai tukar yang sama dengan lima Calais Malaka. Untuk mata uang dengan nilai besar terdapat juga nilai mata uang emas yang nilainya sama dengan 3000 calais atau 9 crusados (raharjo dkk, 1994: 32). Namun demikian, betuk awal lalu lintas uang nusantara (Hindia Belanda), sudah ada sejak ada sebelum kedatangan kebudayaan Hindia (tahun 400 sesudah masehi), meskipun zaman Hindu bentuk uang yang digunakan berupa koin emas dan koin perak, demikian pula pada periode awal kerajaan Islam terutama di daerah-daerah pantai yang termasuk jalur perdagangan atau jalur perdagangan sekunder dikenal berbagai jenis uang seperti di Banten berupa perak dan tembaga, Sumenep bahan celup yang dioleskan pada bahan kain yang sudah dipakai, Cirebon takaran kecil dari timah yang disebut picis, Aceh (para penguasa sering berkumpul untuk melaksanakan pencetakan uang), Palembang (timah), Jambi (timah, seperti Palembang dan Cirebon yang disebut picis), Bangka (timah), Pontianak (tembaga dan timah), Mempawa (timah), Banjarmasin (tembaga), dan Sulawesi (emas dan timah hitam). (P.Creutzberd and J.T.M van Laanen Ceds 1980).[17]
            Dalam catatan orang belanda yang dinamakan dagh register’’, pada tahun 1632 pada 30 april memberitakan tentang 4 atau 5 ribu orang dari mataram dan 1000 orang dari Cirebon  dibawah pimpinan orang kaya Mattassary dikabarkan akan menuju Batavia. Pada waktu itu diberitakan bahwa 50 kapal dari Cirebon dengan muatan beras memasuki sebelah timur karawang. Demikian pula pada tanggal 7 mei 1632 datang perahu-perahu dari Cirebon dan kapal Melayu membawa gula dan lain-lain, yang diduga oleh belanda untuk dipergunakan di Batavia, sera pada tanggal 12 mei 1632 diberitakan bagwa kapal Melayu dari Cirebon membawa muatan gula, minyak dan lain-lain. Selain perdagangan dari Cirebon ke Batavia ternyata Cirebon masih melakukan perdagangan dengan daerah-daerah lain seperti tiku yang terletak di sumatera barat[18] dan pada abad 16 juga Cirebon melakukan perdagangan ke malaka.[19] Dagh register tahun 1633 tanggal 28 maret pemberitahuan bahwa di tiku terdapat dua buah perahu Cirebon yang akan membawa 1000 atau 5000 pikul lada. Demikian juga diberitakan pada tanggal 16 april 1633 ada 2 buah junk milik Raja Cirebon berlayar dari selebar mengalami kerusakan karena menabrak karang. Pada tanggal 30 april 1633 diberitakan ada kapal melewati Selat Sunda yang akan menuju Cirebon (Dagh Register 1633 hlm 291-418).[20] Dalam catatan Dagh Register tanggal 19 desember 1633 diberitakan adanya kapal-kapal yang dari Cirebon ke Batavia, membawa gula, asam dan beras. Pada tahun 1634 tanggal 9 dan 26 Oktober terdapat pula pemberitaan adanya kapal-kapal dari Cirebon yang tiba di Batavia dengan muatan gula dan beras, yang menarik perhatian adalah catatan pada tanggal 8 oktober 1632 yang menyatakan kedatangan 20 kapal junk di Batavia bermuatan penuh munyak kelapa, gula hitam, beras dan sejumlah besar buncis putih dengan nahkodanya bernama Simkeij, berikutnya pada tanggal 23 oktober 1634 tercatat 4 buah kapal Cirebon dan jepara membawa beras, bebek, gula hitam, daging kijang, buah-buahan (mangga, pisang dll), (Dagh Register 1634 hlm 291 - 438). Dagh register tahun 1675 semakin melengkapi bukti-bukti adanya perdagangan yang berasal dari Bandar Cirebon. Tanggal 30 april 1675 terdapat 25 kapal dari Cirebon dengan 1067 orang tiba di Batavia membawa 38.000 potong arax pullenkers, 10 pot ibung asinan, 287 karung gula hitam, 1.717 karung beras, 155 pot minyak, 25 sak kapas, 10.000 butir telur asin, 10 karung gula putih, 1.300 ikat padi, 2 pikul tembakau jawa, 1.100 pot, 250 bakul kosong begal, 30 cardemango dan 200 lembar kulit kerbau. Sedangkan kapal yang menuju Cirebon berjumlah 14 buah dengan membawa pakaian seharga 135 rds, porselin seharga 760 rds, amphium seharga 700 rds, Slaafkooper seharga 760 rds dan uang kontan senilai 50 rds. Selanjutnya, dagh register mencatat pada tahun 1670, 1677 dan 1678 mencatat bahwa kapal-kapal yang berasal dari Bandar Cirebon  yang tiba di Batavia memperdagangkan komoditas yang hampir sama dengan barang-barang yang pernah diperdagangkan di Batavia (Departemen dor Bulegelike Openbaare Werken, 1920: 87-90).[21]
            Dimulai pada tahun 1619 dengan menguasai Jayakarta, maka sampai tahun 1780 VOC telah berhasil menguasai seluruh jalinan perdagangan dan pelayaran di Jawa. VOC melarang sector swasta di Jawa untuk menjalankan pengangkutan perdagangan rempah-rempah dari Maluku, bahkan VOC melakukan monopoli impor dan ekspor bagi komoditas-komoditas penting. Untik memaksimalkan keuntungan, VOC memberlakukan peraturan pembatasan tanda berlayar dengan tujuan di pulau Jawa. Akan tetapi di empat pelabuhan yaitu pelabuhan Surabaya, Gresik, Cirebon  dan semarang sebuah kapal dapat mendapatkan dokumen berlayar dengan tujuan luar negeri yang lokasinya di selat malaka dan pulau Sulawesi. Seorang nahkoda kapal menginginkan izin untuk berlayar lebih lama dengan tujuan yang jauh, ia hanya akan mendapatka dokumen itu di Batavia.[22] Dari total keseluruhan volume tahunan di seluruh pelabuhan yang ada di pulau jawa mencapai 600.800 ton dimana Batavia sevagai pangakalan pelabuhan utama di VOC menduduki temoat pertama (40 %), diikuti oleh semarang di tempat kedua, rembang di tempat ketiga, sedangkan Cirebon di tempat ke tujuh. Mengenai komoditas ekspor per tahun, dari seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa (knap, 1995: 12), memberikan ilustrasi sebagai berikut: lada hitam 23.000 pikul, kopi 43.000 pikul, gula tepung 57.000 pikul, beras 427.000 pikul, papan kayu 126.000 pikul, arak 15.000 Cellaret, kayu gelondongan 56.000 potong, garam 142.000 pikul, tembakau Jawa 17.000 pikul, pakaian jawa 146.000 pikul dan gula Jawa 22.000 pikul, dan semua itu dimiliki oleh VOC dari berbagai pelabuhan termasuk Cirebon.[23]

Sarana Transportasi Pelabuhan
            Cirebon sebagai Bandar pelabuhan yang secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis masyarakatnya memiliki tradisi maritime yang kuat. Posisinya di malaka ke Maluku mendorong pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan transito internasional pada masanya. Keadaan itu didukung pula oleh kondisi masyarakat Cirebon yang telah mempunyai tradisi maritime yang bentuknya berupa teknologi pembuatan perahu, kemampuan itu melahirkan berbagai jenis perahu, seperti perahu layar, perahu bercadik, perahu lesung dan rakit. Cirebon sebagai kerajaan maritime dengan pelabuhannya yang besar dan ramai , mengenai hal itu tome pires mencatat bahwa pada tahun 1513 merupakan pelabuhan yang baik, setiap waktu ada 3 atau 4 jung (sejenis perahu besar), yang berlabuh di Cirebon, sedangkan lancana (sejenis perahu di bawah junk/ lebih kecil dari junk), jung dapat berjalan hingga 9 mil menyusuri sungai. (Ekadjati, 1984: 90, Dartono, 1991: 16). Dari catatn Tome Pires tersebut tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang cukup besar dan ramai, jauh lebih besar dan ramai bila di bandingkan dengan demak. Hal itu didasarkan pada ukuran besar kecilnya sebuah pelabuhan pada masa itu yang dinilai atas kemampuannya untuk dilayari jenis perahu junk. Pelabuhan Cirebon yang diduduki oleh adanya sungai bondet dapat dilayari oleh perahu junk sejauh 9 mil sedangkan di demak meskipun memiliki banyak sengai tetap tidak dapat dilayari perahu junk, kecuali pada saat air sungai penuh, (carteaso, 1967: 186).[24]
            Dari uraian di atas bahwa Cirebon sebagai pelabuhan transit internasional, yang dilabuhi oleh berbagai jenis perahu baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar. Perahu kapal yang berukuran besar diabratanya meliputi, Junk, Lancana, Pangjava, Brigantine, Shallop dan Pinisi. Sedangkan perahu kecil meliputi: Pencalong, Cunea, Mayang, lesung, Sampan, Sope, Jegong, Tembon, Bondet, Konting, Jukung, Katir, Prawean, Lete, Janggolan dan Lambo. Secara umum perahu-perahu yang ada di sepanjang pantai utara pulau Jawa dan Madura, juga terdapat di pelabuhan Cirebon.[25]
            Mengenal asal Negara atas kapal-kapal yang datang dan pergi dari Cirebon sampai tahun 1929 menurut uka tjandrasasmita (1995:23) ialah 60 % dari Nederland, 11 5 england, 5 % dari jepang sedangkan kapal-kapal Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia dan China berjumlah 21 %.[26]


KESIMPULAN
            Cirebon sebagai bandar niaga sekaligus bandar transi internsiaonal, banyak berperan dalam dalam kemajuan kemaritiman Asia Tenggara, khususnya di regional laut Jawa, sebagai Bandar niaga tidak terlepas dari perkembangan dunia internasional, yang disebabkan oleh adanya Motif Ekonomi, Politik dan Agama, motif Ekonomi mendorong berbagai bangsa untuk mencari komoditas yang berharga dan bernilai tinggi, tidak peduli sejauh mana keberadaan komoditas tersebut. Yang dengan demikian banyak para saudagar dan pedagang semangat dalam misi perdagangan di kawasan yang penting termasuk kawasan regional Cirebon dan laut Jawa. Peran Cirebon sebagai Bandar niaga di jalur Sutra, hendaknya dipahami dalam perkembangan dunia internasional kemaritiman, untuk itulah Cirebon yang besar dari pelabuhan dapat dikatakan memiliki tiga peran yaitu pusat perubahan peradaban , pusat alkulturasi budaya dari berbagai bangsa dan pusat budaya yang di mana adanya pertemuan dari berbagai tempat dann belahan di dunia maritim internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul, Munir. 2010.’’ Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: amzah.
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998.
Dr, Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Djoko Pramono, Budaya Bahari, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Prof. Dr. Taufiq Abdullah, Prof. Dr, A.B. Lapian, dkk. Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Peradagan Sslam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven atas kerja sama dengan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2012.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 1975,’’ Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka


[1] Dr, Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993 Hlm 215.
[2] Amin, Samsul, Munir. 2010.’’ Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: amzah, hlm 338
[3] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998., hlm 47-48.
[4] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm 56.
[5] Prof. Dr. Taufiq Abdullah, Prof. Dr, A.B. Lapian, dkk. Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Peradagan Sslam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven atas kerja sama dengan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2012. hlm 39.
[6] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 1975,’’ Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 59
[7] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 71.
[8]Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 71 dan 73
[9] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 50-51
[10] Ibid 51
[11] Ibid 51
[12] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm 56
[13] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 52-53.
[14] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998.hlm 53-54.
[15] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 55
[16] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 56
[17] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 58
[18] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 59
[19] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm 56
[20] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998.hlm 59
[21] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 60
[22] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 61
[23] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 62
[24] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. 64-65
[25] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 68
[26] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: DEPDIKBUD, 1998. hlm 69

0 komentar:

Posting Komentar