ABSTRAK
IKWANUL
MUSLIMIN: PERAN PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA DALAM KEMAJUAN ISLAM MODERN
Makalah ini akan membahas
mengenai peran dan pemikiran Hasan Al-Banna dalam menciptakan gerakan Islam
Modernis di Mesir yaitu Ikhwanul Muslimin, mengkaji dari pola pemikiran Hasan Al-Banna
yang melahirkan gerakan Islam yang maju dan mengglobal, makalah ini meyatakan
bahwa pandangan umum mengenai identitas ikhwanul muslimin tidak terlepas dari
perana utama dari pemikiran modern Islam Al-Banna, Hasan Al-Banna sebagai bapak
pendiri Ikhwan Muslimin, dalam jurnal Ana Balen Soage berpandangan bahwa dari
jurnalnya yang di kutip dalam buku Al-Banna, bahwa islam bukan hanya spiritual
dan ritual, namun Islam adalah Akidah dan ibadah, bangsa dan kebangsaan, agama
dan Negara, Spiritual dan Tindakan, Etika dan Kekuasaan, Rahmat dan keadilan,
budaya dan hukum, Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
(Jurnal Ana Belen Soage). Di mana paper ini akan melihat apa maksud dan tujuan
Ikhwanul Muslimin di bentuk serta sejarah terbentuknya Ikhwanul Muslimin?,
bagaimana penjelasan mengenai pemikiran Al-Fikra Al-Islamiyah? tugas apa saja
yang di emban oleh pergerakan Ikhwanul Muslimin?, serta melihat dari
tahapan-tahapan, norma-norma, dan makna yang mencakup Ikhwanul Muslimin,
sementara itu makalah ini akan membahas mengenai pemikiran Hasan Al-Banna dalam
memodernkan pemikiran Islam dan dampak dari terbentuknya Ikhwanul Muslimin,
serta dalam penemuan saya mengenai pemikiran Al-Banna mengenai Al-Fikra
Al-Islamiyah yang menyangkut awal dan dasar pemikiran Hasan Al-Banna yang
memberikan dampak buah pemikiran lainnya yang terus berkembang hingg saat ini.
makalah ini akan mengulas sebuah artikel yang di karang oleh Khalil Al-Anani
dan mengkaji penulisannya, beliau adalah seorang penulis di sebuah sekolah
pemerintahan dan Hubungan Internasional di Durham University, University of
Kingdom
Keyword: Ikhwanul Muslimin, Mesir,
Islam Modernis, Pemikiran Hasan Al-Banna,
Al-Fikra Al-Islamiyah.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ikhwanul Muslimin terlahir pada awal ketegangan kebudayaan
dan politik di abad 20, diantaranya peristiwa dramatis sebelum terbentuknya Jama’ah
Hasan Al-Banna dari Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, terjadinya penghapusan
Kekhalifahan Besar di Turki oleh pemuda-pemuda Turki yang berhaluan pada
pemikiran barat atas dalih modernisasi dan reformasi turki baru, pada tahun
1924, telah jelas bahwa atas penghapusan kekhilafahan pada masa itu membuat
titik traumatis atas Islam, yang pada akibatnya timbulnya perpecahan islam setelah
tumbangnya kekhilafahan di Turki, lain halnya di Mesir yang tidak jauh berbeda
apa yang terjadi di Turki bahwa adanya koloni Inggris di Mesir telah
memperparah ketegangan atas politik mesir dalam konteks sosial, yang
mengakibatkan pecahnya dua kubu pemikiran besar di mesir yaitu pemikiran
modernis sekularisme mesir yang memiliki pemikiran atas Negara Mesir yang
modern dan sekuler atas dasar itulah mereka memiliki basisnya tersendiri di
regional Mesir, pemikiran yang tumbuh di mesir selanjutnya ialah pemikiran Islam
ortodok yang mengambil sikap konservatif dan menentang atas pemikiran modern sekuler
Mesir serta sebagian besar perubahan politik dan budaya, Islam ortodoks
menganjurkan Reformis agama yang mempertegas pertahanan Islam untuk dijadikan
landasan politik dan budaya, serta mempertahankan atas pemikiran sekularisme
yang sama-sama lahir di mesir[1].
Setelah deklarasi protectorat inggris atas mesir selama perang dunia ke I, pengakuan Inggris atas kemerdekaan Mesir
pada 1922, namun selepas kemerdekaan inggris masih memiliki kepentingan atas
terusan suez dan sudan[2].
Dari kemerdekaan mesir yang belum sepenuhnya Inggris dalam kendali terusan Suez
memiliki kepentingan tersendiri dalam kaitannya kekuatan ekonomi dan
perdagangan di timur tengah.
Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan yang paling berpengaruh di
Timur Tengah terutamanya Mesir dan negeri-negeri di sekitarnya, selama 8 dekade
sebagai gerakan Reformis serta pembahari gagasan modernis Islam yang dirikan
oleh Hasan Al-Banna. Ikhwan yang lebih sering memprotes atas kezaliman rezim
Mubarak, karena penguasaan Mesir secara otoriter yang bertentangan atas mesir
yang Demokratis. Ikhwanul Muslimin berusaha dalam perubahan pemerintahan mesir
yang sudah sangat lama di kungkung oleh rezim Mubarak selama bertahun-tahun,
yang di mana tidak semakin berkembangnya mesir sebagai Negara peradaban, namun
semakin di perparah atas tindak korup atas pemerintahan Mubarak, yang
mengakibatkan retak dan semakin sulitnya kehidupan rakyat. Ikhwanul Muslimin
dalam hal ini juga menginginkan pelestarian struktur organisasi dan aktivisme
politik yang sudah lama terbangun sejak puluhan taun lamanya, dalam rezim Hosni
Mubarok kekuatan Ikhwanul Muslimin sedikit demi sedikit di kikis agar tidak
membahayakan rezim Hosni Mubarok. Pada masa pemberontakan 25 januari 2011 yang
menumbangkan rezim Hosni Mubarok, setelah tiga decade berkuasa, Ikhwanul
Muslimin muncul sebagai kunci dalam peran politik baru Mesir setelah tumbangnya
rezim Hosni Mubarok, selain itu Mohammad Morsi, sekaligus ketua dari kebebasan
dan Partai Keadilan Mesir, sebagai kekuatan baru atas kungkungan yang dialami Ikhwanul
Muslimin selama rezim mubarok. Mohammad Morsi sebagai Presiden Mesir pertama
yang terpilih setelah rezim Hosni Mubarok tumbang. Dalam makalah ini pertanyaan
penting dalam perjalanan sejarah ikhwan dari mulai terlahir dan saya
menjelaskan informasi dan update terkini atas politik Mesir dan pergerakan Ikhwannul
Muslimin yang sangat heroik dan saling memperkokoh persaudaraan yang tinggi,
hingga kekuatan itu tumbuk sampai saat ini, karena adanya penopang dan
penggerak utama dalam jiwa pemikiran masyarakat mesir terkhususnya Ikhwannul
Muslimin yang menginginkan Mesir pada taraf perubahan modern, bukan saja pada
tarap rezim yang mengungkung kebebasan rakyat atas perkembangan pemikiran,
Hasan Al-Banna sebagai tokoh kharismatik mesir memang tidaklah setenar apa yang
kita dengar, namun pemikirannya yang mempengaruhi gerakan besar dari awal mesir
merdeka hingga kini. Sebagai penggerak identitas Islam, Ikhwanul Muslimin dapat
mempertahankan identitasnya sebagai reformis Islam modern, tidak dapat
perhatian yang baik dalam rezim Hosni Mubarok atas Ikhwanul Muslimin, Mohammad
Morsi sebagai penguasa Mesir pada periode itu, yang satu-satunya dapat
memberikan perlindungan atas pergerakan ini. Sebagai perjalanan Ikhwanul
Musimin dalam makalah ini bagaimana maksud dan tujuan Ikhwanul Muslimin lahir
serta pemikiran Hasan Al-Banna yang memberikan sebuah pergerakan besar Islam di
Mesir pada masanya hingga kini. Makalah ini berusaha untuk memberikan informasi
kepada khalayak ramai, mengenai pergerakan Ikhwanul Muslimin dan Pemikiran
Hasan Al-Banna sebagai bapak pendiri gerakan Islam modernis sudah selayaknya di
publikasikan untuk memberikan dorongan dan semangat atas Ilmuan Islam di masa
kini untuk perubahan Islam yang lebih maju, Hasan Al-Banna memberikan sebuah
contoh dalam identitas dirinya yang sangat mempengeruhi anggota Ikhwanul
Muslimin hingga dalam sehari-hari mereka sampai saat ini.[3]
Dalam pembahasan makalah ini ada hal yang menarik di bahas selain dari konsep
pemikiran hasan albanna yang berupa Al-Fikra Al-Islamiyah mengenai dasar-dasar
pemikirannya, dalam sebuah jurnal Khalil Al-Anani ’The Power of The Jama’a:
The Role of Hasan Al-Banna in Constructing The Muslim Brotherhood Collective
Identity, United Kingdom’’ dan Rosmani Ahmad yang berjudul analisis
terhadap pemikiran hasan al-banna dari Analityca Islamica bahwa pemikiran Hasan
Al-Banna [4],
Negara Islam memiliki banyak bentuk termasuk demokrasi parlementer
konstitusional, hasan Al-Banna menegaskan bahwa pemerintahan konstitusional
merupakan sistim yang paling mendekati pemerintahan Islam.[5]
Hal ini tertuang dalam pemikiran Al-Banna dalam pemikiran politiknya.
Ikhwan dan Al-Banna memberikan pokok pemikirannya terutama
dalam dalam menyangkup aspek seluruhnya dalan kehidupan antara Islam dan
Negara. Tulisan ini berargumen bahwa al-banna menuangkan gagasan pemikirannya
berupa memasukan identitas Islam sebagai penempa jati diri islam yang mencakip
segala macam bidang dan aspek yaitu aspek social, aspek politik, aspek budaya,
aspek ekonomi dan aspek kemasyarakatan bahkan sampai kenegaraan juga di
termasuk didalamnya. Identitas Islam menjadi sistem termasuk norma-norma,
nilai-nilai dan peraturan yang diajarkan sebagai prinsip Islam kedalam
kehidupan sehari-hari.
Melihat data kuantitatif dan kenyataan social politik yang
demikian saya berpendapat, ikhwanul muslimin dan Hasan Al-Banna sangat menarik
untuk di bahas di makalah ini.
PEMBAHASAN
Biografi Hasan
Al-Banna
Hasan Al-Banna dilahirkan di Desa Al-Mahmudiyah yang berada
di wilayah Al-Bahira, kawasan pedalaman Mesir, pada Bulan Sya’ban 1324 H,
bertepatan dengan Bulan September 1906 M. daerah kelahiran Hasan Al-Banna
dikenal sebagai caerah delta . ayahnya bernama Syeikh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna
seorang ulama yang hafal Al-Qur’an.[6]
Keulamaan ayahnya dikenal sebagai imam masjid serta pegawai syari’ah di
desanya. [7]
masa kecilnya hasan al-banna dilalui dengan belajar Tahfiz Al-Qur’an yang di
pelajari langsung dari ayahnya. Ayahnya yang memberikan pendidikan dasar
keagamaan kepada Hasan Al-Banna. Sementera itu, pendidikan dasar formal dilalui
Hasan Al-Banna di Madrasah Diniyah Al-Rasyad. Madrasah tersebut di kelola oleh
pemerintah. Pada usia 12 tahun , ia pernah menyaksikan praktek zikir Tarekat
Al-Hasafiyah dan menangkap kesan tentang kelapangan hati dan kesalehan orang tua
serta kerendahan hati orang muda. Sejak itu nama Syeikh Hasafiyah, guru tarekat
tersebut melekat kuat di dalam hatinya.[8]
Ikatan Hasan Al-Banna terkait dengan Tarekat Hanafiyah menanamkan pengaruh
dalam dirinya, betapa erat hubungan Antara pemimpin dan pengikutnya menguraikan
bagaimana salah seorang guru pertamanya mengajarkan kepadanya cara menilai
ikatan spiritual dan emosional yang dapat tumbuh Antara guru dan murid. Berkat
hubungan dengan sufi dia senantiasa menghargai Tasawuf, terutamanya hal selama
tidak mengandung Bid’ah yang menurut Muslim spiritualis sering mengotori
praktik dan keyakinan Sufi. Al-Banna tidak pernah mengutuk Tasawuf, tetapi
justru menyerukan perubahan sufi yang salah jalan dan menyerukan pembersihan
sufi dari noda. Dasar pendidikan formal yang diterimanya di Madrasah Al-Rashad
dilanjutkan ke Madrasah Al-I’Dadiyah di Al-Mahmudiyah, selanjutnya ia
melanjutkan pendidikan ke Dar Al-Mu’allimin di Damanhur pada tahun 1920. Di
sekolah inilah ia menyelesaikan hapalan Al-Qur’an yang telah dimulai sejak
bersama ayahnya. Pada waktu itu ia belum genap berusia 14 tahun. Pada tahun
1923 Hasan Al-Banna melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah tinggi di Dar
Al-Ulum Kairo. Sekolah ini bertujuan untuk membina guru Agama. Selama belajar di
Kairo, keterlibatannya dengan Tarekat Hasafiyah tidaklah terputus. Dia terlibat
dalam terekat tersebut melalui cabang Kairo, namun salah satu hal yang menaarik
adalah Hasan Al-Banna banyak terlibat dalam perkembangan pemikiran atau situasi
politik yang sedang melanda Mesir. Ketika itu, mesir sedang mengalami
ketidakmenentuan politik. Itu ditandai dengan selalu terjadinya pertikaian antara
kelompok-kelompok politik yang ada. Persoalan lain adalah westernisasi yang
mencengkram begitu kuat dalam situasi itulah pematangan pemikiran Hasan Al-Banna
berproses.[9]
Perjalanan Ikhwanul Muslimin
Sejarah telah mencatat bahwa Mesir sejak zaman kuno 4000
tahun SM telah mempunyai peradaban tinggi, sehingga Mesir menjadi daerah yang
mempunyai peranan penting dalam sejarah perkembangan Islam, baik zaman modern
atau pun pra modern. Peranan yang dimainkan Mesir dalam sejarah perkembangan
Islam tampak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan.
Negara Mesir terletak pada persimpangan jalan antara Asia dan Afrika, memiliki
proses strategis disamping tanah yang subur, membangkitkan minat para penakluk
dan negara-negara besar pada masa lampau. Nilai strategis Mesir bertambah lagi
dengan digalinya Terusan Suez pada tahun 1869 M yang berada di bawah kontrol
Inggris yang menyadari betapa pentingnya terusan ini bagi kepentingan
imperiumnya. Agama Islam masuk ke Mesir pada masa khalifah Umar bin Khattab,
dibawah pimpinan Amr bin Ash yang menjadi gubernur pada tahun 632-660 M.
Periode modern Mesir mulai tahun 1800 M, dan seterusnya merupakan zaman
kebangkitan umat Islam. Gerakan pembaharuan dimulai sejak pemerintahan M. Ali
Pasya (1765-1849 M), al-Tahtawi (1801-1873 M), Jamaluddin Al-Afghani (1837-1897
M), dan M. Abduh (1849-1905 M).[10] Mesir resmi dijadikan protektorat Inggris
pada tahun 1914. Namun negeri itu telah berada di bawah pengaruh Inggris sejak
seperempat terakhir abad ke-19. Dengan demikian respons masyarakat Mesir
terhadap barat telah terlihat sejak akhir 1870-an. Kegiatan dan kunjungan
Jamaluddin al-Afghani, pemimpin pembaharuan politik keagamaan Islam pada akhir
abad ke-19 ke Kairo dicurigai. Memang pada 1879 terjadi demonstrasi
besar-besaran di Kairo yang melibatkan ulama, wartawan, tuan tanah dan anggota
militer. Dua tahun kemudian, sejumlah anggota tentara Mesir dibawah Ahmad Urabi
merebut kantor kementrian peperangan dan membentuk pemerintahan sendiri.
Inggris, yang merasa memiliki Mesir, mengambil jalan militer untuk menumpas semua
kegiatan tersebut. Sejumlah tokoh, termasuk Muhammad Abduh diusir dari Mesir.
Sejak 1882, Inggris secara defacto menguasai Mesir, walau institusi Khidiwi tetap
dipertahankan. Yang jelas, krisis 1879-1882 telah memberikan warna politik
lebih jelas kepada kelompok elit Mesir yang risih dengan pemerintahan khidhiwi
dan juga campur tangan Eropa. Bahkan sejak tahun 1899, Mesir telah disatukan
dengan Sudan sebagai kondominium Inggris.[11] Langkah pertama kali yang dilakukan Inggris
setelah menumpas kegiatan tersebut adalah menghilangkan fungsi kehidupan
parlemen dan membentuk kembali tentara Mesir di bawah pengawasan mereka, serta
mengangkat para penasehat dari pihak mereka untuk menduduki berbagai
kementrian.
Pada masa Khudhiwi Abbas Hilmi yang menggantikan khudiwi
Taufik tahun 1892, timbul partai al-Hizbul Wathahi yang dipimpin oleh Mustafa
Kamil tahun 1907. Partai ini menyebarkan semangat nasionalisme dan persatuan
seluruh rakyat sehingga dengan satu komando mengusir Inggris dari Mesir. Pada
tahun 1908 Musthafa meninggal tetapi gerakan nasional terus berlanjut yang
ditandai dengan berdirinya tiga partai nasional dengan tujuan yang sama yaitu Al-Hizbul
Wathani di bawah pimpinan Abdul Khalik Tsaurt, Hizbul Ummah di bawah pimpinan
Syaikh Hasan Abdul Razik dan Hizbul Islam di bawah pimpinan Syaikh Ali Yusuf.
Setelah pecah perang dunia I tahun 1914, Inggris mencatat Khudiqi Abbas II
karena memihak Turki dan Jerman melawan sekutu dan mengangkat Husein Kamil
sebagai gantinya, dengan demikian Inggris berhasil memutuskan hubungan antara
Mesir dan Turki. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat.[12]
Disisi lain, pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada
pasar menimbulkan berbagai akibat. Disatu pihak, ekonomi Mesir menjadi
tergantung pada produk pertanian tunggal, kapas. Akibatnya pengembangan
industri lain menjadi tidak layak. Di pihak lain, ketimpangan ekonomi yang
tercipta karena industri dan tetesan uang kapas mendorong munculnya tokoh
politik dan pejuang sosial keagamaan di kalangan terpelajar. Katalis perjuangan
nasional mereka sering dihubungkan dengan peristiwa penembakan burung dara oleh
sekelompok tentara Inggris di pekan Binsaway pada tahun 1906. Masyarakat Mesir
dari segala lapisan bersatu mengutuk tindakan brutal tentara yang membalas
terbunuhnya seorang rekan mereka dengan menghabisi nyawa empat petani dan
menghajar puluhan lainnya. Pada tahun 1918, Saad Zaghlul bersama tokoh-tokoh
politik Mesir melahirkan partai Wafd (delegasi) yang kemudian mengirimkan delegasi
ke London pada bulan November untuk menjelaskan situasi dan tuntutan rakyat
Mesir, tetapi delegasi itu tidak pernah mendapatkan izin meninggalkan Mesir.
Tiga tahun kemudian, kelompok nasionalis bangkit menuntut otonomi politik kemerdekaan
penuh. Hal itu ditandai dengan mengadakan pemogokan, demonstrasi dan
pergolakan. Akhirnya pada Februari 1922, protektorat dihapuskan dan Mesir
menjadi merdeka dengan beberapa syarat. Setahun kemudian, konstitusi diumumkan
dan pemerintahan Mesir ditetapkan sebagai monarki konstitusional. Pada tiga
dasawarsa pertama abad 20, gerakan nasionalis dan politik di Mesir hampir
dimonopoli oleh kelompok sekuler. Tetapi tidak berarti kelompok Islam menjadi
pasif, namun memang mereka lebih bertumpu kepada pembaruan sosial keagamaan.
Yang jelas ketidakseimbangan inilah yang menggugah semangat nasionalisme Hasan
al-Bana dalam menyikapi keadaan sosial politik saat itu. Hal ini dibuktikan
dengan mendirikan sebuah gerakan Islam yang dinamai dengan Ikhwan al-Muslimin dengan
program yang berorientasi tegas kepada Islam.[13]
Disisi lain, dalam diri individu Hasan Al-Bana sendiri sudah
tertanam jiwa nasionalisme yang diajarkan oleh keluarganya juga pemahaman
mengenai agama, sehingga dalam hidupnya ia juga melakukan dakwah di
masjid-masjid, pasar dan mushalla-mushalla dengan mengajarkan syiar-syiar Islam
secara praktis. Dengan kecerdasannya, Hasan Al-Bana melihat bahwa ada beberapa
kelompok masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menyukseskan misi dakwahnya
di jalan Allah. Masyarakat tersebut dibaginya menjadi empat kelompok, yakni
para pemuka agama, para tokoh tarekat dan tasawuf, sesepuh masyarakat dan para
pengunjung pada perkumpulan-perkumpulan. Karena ia bersifat santun dan sopan
dan kadang-kadang juga ia memberikan hadiah seperti buku-buku keagamaan,
cenderamata, maka dengan sendirinya dapat menarik simpatik mereka dan otomatis ia
diterima dengan lapang dada. Begitulah berkat kepiawaian dan kesungguhan di
awal kegiatan dakwahnya Imam Hasan Al-Bana berhasil menarik hati sebagian
masyarakat, menyatukan mereka dalam kebaikan, menghidupkan semangat yang ada
dalam dada mereka untuk menegakkan Islam sekaligus mempraktekkannya dalam
kehidupan mereka. Jalan dakwah ini berlangsung kurang lebih satu tahun lamanya.[14]
Pada bulan Zulkaidah 1346 H / Maret 1928 M, ia didatangi
oleh enam orang yang mengaku tertarik
pada kepribadiannya dan terkesan pada pola-pola dakwahnya. Mereka menyatakan
kepada Imam Hasan Al-Bana tentang ketertarikan mereka terhadap cara-cara dakwah
yang Hasan Al-Bana lakukan dan mereka bermaksud menggabungkan diri. Mereka juga
menawarkan sebagian dari kekayaan yang mereka miliki untuk kepentingan
tersebut. Dengan segala senang hati, Imam Hasan Al-Bana menyambut baik niat
mereka itu. Imam Hasan Al-Bana kemudian mengusulkan nama “Ikhwanul Muslimin”
bagi kelompok mereka itu. Alasan karena tujuan mereka bersatu padu dalam sebuah
persaudaraan tersebut semata-mata untuk mengabdi kepada Islam jadi sangat tepat
jika kelompok tersebut diberi nama “Persaudaraan Islam” (Ikhwan Al-Muslimin).[15]
Dalam pemdapat ruth starkman bahwa Ikhwanul Muslimin adalah
organisasi politik islam yang kuat dan terorganisir, persaudaraan ikhwanul
muslimin yang sangat dalam mendominasi parlemen di mesir pada tahun 2012,
menurut ruth, ikhwanul muslimin bertahap melakukan transformasi besar-besaran
dalam kurun abad 21.[16]
Menurut Ruth, konsep teologi aslinya dalam Ikhwanul Muslimin memiliki kesamaan
dalam tradisi di eropa yaitu, konsep hukum alam, persaudaraan dalam Al-Qur’an
adalah gagasan kesetaraan di hadapan Alloh SWT yang melampaui ras kebangsaan
atau jenis kelamin, meskipun dalam pendapatnya kepatuhan terhadap kesetaraan
gender ini aslinya belum tercapai penuh, baru-baru masa ini saja di gaas dan
terwijud. Ikhwanul muslimin menampilkan dua elemen dalam teorinya yaitu
totalitas gerakan dan system pemerintahan, sehingga Ikhwanul Muslimin
menggabungkan Antara agama dan Negara dari segi pemerintahan dan
kesehari-hariannya.[17]
Pendapat Nazir Ayubi mengenai reformasi Islam seperti Al-Afghani dan Mohammad Abduh
yang berusaha untuk memoderniskan pemikiran Islam, namun geerasi berikutnya
yang berkaliber lebih besar seperti Hasan Al-Banna yang mekanjutkan reformasi
pemikiran Islam modern.[18]
Visi dan Misi
Ikhwanul Muslimin
Visi: Dasar Islam
(yaitu mendasarkan struktur Negara pada prinsip-prinsip Islam dan
pelaksanannya). Negara sipil dan kebebasan politik yang terikat.[19]
Sedangkan misi Al-Banna mengemukakan dalam gagasannya ialah untuk berdirinya
dalam gelombang materialisme, dalam sebuah pernyataan yang terinci, ia
menekankan bahwa misi Ikhwanul Muslimin adalah untuk mereformasi Mesir dan
untuk memimpin peradaban dunia, hal ini dapat terwujud dari.
1.
Sistem politik
yang efisies
2.
Sistem baru
hubungan internasional
3.
Sistem
peradilan praktis
4.
Suatu system
ekonomi yang efisien, yang dapat menjalin kemerdekaan individu, masyarakat dan
Negara.
5.
Sistem budaya
dan pendidikan yang dapat mengatasi buta huruf dan membaca.
6.
Sistem keluarga
yang dapat membangun kembali hubungan pribadi dan kekeluargaan antar Muslim.
7.
System disiplin
yang membentuk karakter kepribadiannya.[20]
Dengan demikian Al-Banna memperkenalkan
struktur mediasi. Langkah-langkah untuk menghubungkan tujuan Ikhwanul Muslimin.
Terdapat struktur yang di dasarkan tujuan ikhwanul muslimin dalam langkah satu
yaitu.
1.
Mendidik dan
membentuk Individu Muslim.
2.
Individu muslim
akan menyatu kedalam keluarga muslim.
3.
Keluarga Muslim
akan membentuk masyarakat Muslim.
4.
Masyarakat Muslim
akan membentuk pemerintahan Muslim.
5.
Pemerintah Muslim
akan memastikan Negara yang diperintah oleh ajaran Islam dan dengan demikian
menjadi sebuah Negara Islam.
6.
Negara Islam
yang muncul akan bekerja untuk menyatukan kembali Negara-negara Islam.
7.
Kesatuan Muslim
baru harus memimpin dunia dan mempertahankan keunggulannya.[21]
Pemikiran Hasan
Al-Banna
Pola pemikiran
Hasan Al-Banna apabila di sandingkan dengan Sayyid Qutb adalah bahwa beliau
adalah penggerak ideology gerakan Ikhwanul Muslimin sedangkan Al-Banna adalah
sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin.[22]
Dalam pandangan lain bahwa pemikiran yang berbeda antara Abduh dan Ridha yang
lebih dekat dengan kalangan elit dan intelektual dalam gerakan pembaharunya,
sedangkan Al-Banna berusaha untuk lebih dekat dengan semua kalangan dalam
gerakannya di Ikhwanul Muslimin. Dengan kata lain bahwa abduh dan ridha di
sibukkan pada reformasi atau gerakan dalam lembaga-lembaga keagamaan dan
memiliki wacana masing-masing dalam pergerakannya. Lain hal nya dengan Hasan
Al-Banna yang mereformasi di semua kalangan masyarakat ke arah yang lebih
islami dalam kehidupan sehari-hari dalam Ikhwanul Muslimin.[23]
konsep Al-fikra Al-Islamiyah adalah kosep baru yang menrik dan memberikan atas
unsur spirit Ikhwanul Muslimin dalam menjalankan cita-citanya, memberikan
pengaruh dalam pokok ideologi pergerakan reformasi Islam di Mesir.[24]
Dalam perkembangan Hasan Al-Banna adalah
menetapkan Fikra al-Islamiyah, yang dalam penjelasannya sebagai berikut:
1.
Hukum Islam dan
seluruh ajarannya dapat mengatur urusan hidup masnusia di dunia dan akhirat
2.
Dasar
pengajaran Al-Ikhwan dan seluruh pemahamannya adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi
saw.
3.
Sebagai agama
yang kaffah, Islam memiliki kemampuan mengatur seluruh persoalan hidup dan
semua bangsa dan ummat pada segala zaman.[25]
Al-Fikra Al-Islamiyyah adalah pemikiran Hasan al-Banna yang
menarik dan memberikan pemikiran Al-Banna sebagai gagasan ideologi Islam,
ideologi Islam harus di fahami sebagai penempa jati diri Islam yang mencakup
segala macam bidang dan aspek yaitu mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi,
politik dan kemasyarakatan. Identitas Islam menjadi system termasuk norma-norma
nilai-nilai dan peraturan yang diajarkan sebagai prinsip Islam kedalam
kehidupan sehari-hari.
Persaudaraan Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah organisasi
yang bertujuan menyediakan layanan kesejahteraan bagi penduduk, dan mendorong
serta membela moralitas. Ikhwanul muslimin tidak pernah berhenti dalam mencari
anggota Ikhwanul Muslimin dalam melakukan kaderisasi, sebagai buah pemikiran
Hasan Al-Banna sebagai memperkuat kualitas serta kuantitas Ikhwanul Muslimin di
bawak pergerakan Hasan Al-Banna. Dalam kasus dukungan internasional mesir atas
mengkampanyekan Ikhwanul Muslimin pro Palestina. Sebagai wujud solidaritas Muslim
di kancah Internasional.[26]
Seorang penerus Ikwanul Muslimin yaitu mohammad Badie, dia
memahami dari buku panduan umum (Al-Mushid Al-Amm), Ikhwanul Muslimin memandang
bahwa islam sebagai sistim yang mencakup semua aspek kehidupan. Mohammad Badie
manyatakan, Ikhwanul Muslimin tidak membedakan Antara agama dan politik, ini
memandang Islam sebagai system yang meluas ke semua bidang kehidupan, hal ini
mencakup politik, ekonomi, masyarakat, dll, kami menyembah Alloh SWT, dengan
politik dan dakwah bersama-sama dan tidak adanya keterpisahan di Antara mereka,
hal ini tertanam erat dalam struktur internal Ikhwanul Muslimin yang memiliki
bagian yang berbeda untuk mengawasi politik, social, pendidikan, dakwah dan
urusan kesejahteraan. Tercantum dalam tugas Ikhwanul Muslimin dalam buag
pemikirannya Hasan Al-Banna, untuk mencapai tujuan gerakan yang di dalamnya
mengulas mengenai perlunya mengadopsi tujuan Ikhwanul Muslimin sebagai
implementasi keislaman dan di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada 6 tugas
dan tanggung jawab bagi anggota ikhwanul muslimin. Yaitu:
1. Siap
untuk berkorban demi misi Ikhwanul muslimin
2. Untuk
membatasi batas-batas nyata dari Islam
3. Untuk
membantu orang mengikuti dan menghormati batas-batas ini
4. Berusaha
untuk mencapai maksud dan tujuan Ikhwanul Muslimin
5. Untuk
mengadopsi buah dan gagasan Ikhwanul Muslimin dalam kehidupan sehari-hari.
6. Percaya
bahwa tugas tersebut berasal dari ajaran Islam.
Dalam pendekatan pemahaman Islam Hasan Al-Banna dalam banyak
kesempatannya menegaskan bahwa pendekatan Islam untuk perubahan harus mencakup
semua aspek kehidupan, yaitu dalam bidang politik, ekonomi, social dan moral.
Hasan al-banna menerangkan bahwa Islam melampaui ruang dan waktu yang memberkan
pemahaman bagi semua ideology dan filosofi,[27]
peradaban Islam meberikan kontribusi keilmuan bagi ummat manusia yang besar
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[28]
Menekankan pada gagasan al-banna bahwa Islam tidak akan bangkit tanpa
ideologinya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Banna juga mengatakan
bahwa ‘’ jika anda mempelajari ajaran islam, anda akan menemukan bahwa Islam
telah mengatur semua aturan yang tepat dan hukum bagi manusia untuk pria dan
wanita, untuk keluarga dan bangsa.[29]
Hasan al-banna percaya bahwa islam sebagai keyakinan yang
mencakup kehidupan manusia dalam salah satu pernyataanya yang menakjubkan dan
selalu di kenang yaitu:
Kami percaya bahwa Islam adalah
sistem inklusif ; itu adalah Iman dan Ibadah , Negara , Bangsa dan Agama ,
semangat dan perbuatan , teks suci dan pedang ... Al-Quran menganggap hal-hal
ini menjadi inti dari Islam.
Dalam keterangannya tersebut hasan al-banna berusaha untuk
memberikan persepsinya mengenai hukum Islam masuk dalam kehidupan sehari-hari
dalam kesempatan lain beliau diusulkan sebagai pemegang pengaruh politik di Mesir.[30]
Pemahaman Islam Hasan
Al-Banna
Hasa al-Banna dalam pemikirannya bahwa pemahaman yang benar
dalam islam yaitu berpegang pada al-qur’an dan as-sunnah dua sumber ini menjadi
pokok segala penetapan peraturan islam untuk setiap keadaan. Pandangan ini
merasuk dalam konsep pemikiran al-banna dalam meramu pembentukan Negara Islam yang
mengikuti empat hal, yaitu Al-Qur’an, as-sunnah, berbagai konvensi Khalifah
al-Rasyidin dan ketentuan para ulama ternama. Keempat hal ini menjadi rujukan
al-Banna dalam membentuk daulah Islamiyah, (pemikiran buku) kaum Muslimin
hendaknya memperdalam kitab sucinya agar mendapatkan keselarasan pada diri
mereka dengan Islam. Pada pemahaman Al-Banna mengakui orang bisa saja
berpendapat dalam pemahamannya yang menimbulkan perdebatan atau perselisihan
dalam soal peribadahan yang sudah jelas terdapat pendapat yang bercabang dan
sudah menjadi pemahaman kesepakatan bersama dalam hukum Islam, hal ini dengan
sebaik mungkin haruslah di cegah demi menjaga stabilitas persaudaraan. Karena
hal tersebut tidaklah bermanfaat sebagaimana yang lain, ada yang lebih utama
yang seharusnya di diskusikan selain hal-hal yang bersifat pendapat yang banyak
atas kesepakatan bersama oleh ulama yang sudah di percaya oleh ummat.[31]
Orang berfikir bahwa Islam hanyalah ritual dan spiritual
belaka, semua sangghan itu hanyalah kebohongan dan itu salah, Islam adalah
aqidah dan ibadah, bangsa dan Negara, spiritual dan tindakan. Islam sistim yang
luas dalam aspek kehidupan, yaitu adalah Negara dan bangsa, pemerintahan dan
ummat, etika dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, budaya dan hukum, ilmu
pengetahuan dan peradilan, materi dan kekayaan serta keuntungan dan kemakmuran.[32]
Al-banna mengusulkan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi
krisis moral, politik dan ekonomi dan seperti apa yang Al-Banna lihat yang
melanda Negara mesir. Dalam menuju perubahan amoral, Al-Banna menetapkan 50
tujuan utama si bawah gagasannya mengenai politik, peradilan dan tujuan
administrasi, social dan tujuan pendidikan atau tujuan ekonomi. Sebagian mereka
dalam menggeluti di masing-masing bidang tidaklah mewacanakan akan pentingnya
karakter kepribadian dan keagamaan dan moralitas, namun konsep Al-Banna dalam
memadukan Antara pengetahuan umum dan kharakter, itu menjadi penyelamat
degradasi moral yang di alami Mesir pada masanya.[33]
Al-Banna mengidentifikasikan bahwa factor intelektual Islam yang semakin
menurun akibat dari umat islam yang mengabaikan ilmu terapan dan banyak
menyia-nyiakan waktu luang maupun sempit dalam kegiatan dan hal-hal yang tidak
bermanfaat.[34]
Konsep Pemikiran Islam
Al-Banna dalam pemahamannya tentang konsep Islam sejati yang
di paparkan oleh pemikirannya bahwa berdasarkan kitab suci dan hal yang paling
sensitive dalam praktik mengenai kemujaraban ajimat, jampi-jampi mantera dan
ramalan, secara penuh hendaknya muslim memerangi hal semacam ini, setidaknya
dengan hati kita apabila kita tidak mampu dalam mencegahnya, namun sebilamana
kita mampu gunakan tindakan kita dengan cara yang baik dalam mencegah perbuatan
yang jelas-jelas menyimpang dalam koridor islam, maraknya pemujaan terhadap
wali, Al-Banna percaya bahwa menghormati atau mengagungkan orang shaleh karena
amal shalehnya itu tidak ada masalah atau boleh-boleh saja. Namun dalam
pendapat Al-Banna menolak kalau orang seperti itu memiliki kekuatan dalam diri
seorang shaleh tadi, atau memiliki kekuatan spiritual yang memberikan manfaat
dan kemudharatan bagi orang lain, hal lain seperti pemakaman yang hendaknya
tidaklah berlebihan dalam melakukan ziarah kubur, hendaknya berziarah dalam
sikap kita yang sederhana dan tidak berlebihan, hal ini apa yang sudah di
ajarkan oleh Nabi SAW.[35]
Dalam pemahaman Al-Banna mengenai iman, siapapun orang dapat
dikatakan seorang Muslim apabila dia percaya akan kesesaan Alloh SWT dan Kenabian
Muhammad saw, berbuat sesuai dengan hukum islam yang diterapkan dan menunaikan
kewajiban agama. Hasan Al-Banna menyebutkan orang tersebut kafir apabila dia
murtad secara terang-terangan, mengingkari keyakinan dan praktik Islam terkait
dengan pemahaman teologi. Hasan Al-Banna mengemukakan bahwa muslim sudah
sepantasnya meyakini keesaan alloh dan tidak ada persamaan Antara Alloh SWT dan
makhliknya, dan muslim tidak diperbolehkan dalam kaitannya denga penafsiran
ayat-ayat al-qur’an mengenai sifat-sifat keesaan Alloh SWT. Aqidah menurut Al-Banna
sesuatu yang mengharuskan hati dan anda membenarkannya yang membuat jiwa anda
tenang kepadanya dan yang menjadi kepercayaan anda yang bersih dari kebimbangan
atau keraguan.[36]
Dalam penemuan pemikiran Hasan Al-Banna ajaran Islam
mendorong keterlibatan urusan duniawi, Islam tidak melarang perkara urusan
keduniaan, karena keseimbangan dan keselarasan akan dunia dan akhirat akan
membawa keseimbangan yang menuntun kita menjadi seorang yang percaya dan tetap
kuat dalam memegang prinsip Keislaman seseorag tersebut, Al-Banna dalam
pemahamannya tidak ada tabir atau penghalang dalam Islam dan keilmuan duniawi,
termasuk dalam perkara penelitian dan research atas gejala alam yang akan
membewa pada kekayaan Khazanah keilmuan Islam dan kemajuan teknologi. Islam
tidak bertentangan dalam disiplin ilmu apapun, karena agama dam keilmuan
sama-sama membahas realitas dan kebenaran. Pemikiran Al-Banna ini merupakan
wijud dari kemajuannya dalam Intelektual Islam modern yeng mereformasikan Islam
dalam segala bidang dan aspek di abad 19.[37]
Pemikiran politik
Pemahaman Al-Banna mengenai pemikiran politik, pada
kesempatan ini politik Al-Banna sebetulnya prinsip islam dapat diterapkan pada
keyakinan yang di anut oleh lembaga politik di Negara tersebut. Islam
memerlukan suatu suatu pemerintahan yang mengayomi dari tindakan anarkisme di
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, namun Al-Banna berdalih dalam
pemikirannya bahwa tidak menetapkan pemerintahan tertentu dalam ulasan
pemikiran Al-Banna, Islam hanya meletakkan tiga prinsip pokok yaitu:
1. Penguasa
bertanggung jawab kepada alloh swt dan rakyat. Penguasa bahkan dianggap sebagai
abdi rakyat.
2. Bangsa-bangsa
Muslim harus bersatu, karena persatuan merupakan prinsip Iman.
3. Bangsa-bangsa
Muslim berhak memonitoring tindakan penguasa, menasihati penguasa dan
mengupayakan kehendak bangsa di hormati.
Karena ketiganya merupakan prinsip yang sangat luas, maka
Negara Islam bisa memiliki banyak bentuk, termasuk demokrasi parlementer
konstitusional. Ia menegaskan bahwa pemerintaha konstitusonal merupakan sistim
yang paling mendekati pemerintahan Islam.[38]
Dalam sistim konstitusional terdapat jaminan individu, prinsip konsultasi, dan
bertanggung jawab penguasa atas rakyat. Jika kemudian Al-Banna menetapkan bahwa
hukum konstitusional di Mesir menyimpang dari Islam, hal itu karena dalam
pasal-pasal konstitusional memakai prinsip barat yang menolah hukum Islam, Al-Banna
menganjurkan agar sistim konstitusi mesir agar direvisi menjadi bentuk
pemerintahan Islam.[39]
Sebagai bentuk adanya keprihatinan atas tumbangnya Khilafah di Turki, Al-Banna
mengadopsi pemikiran politik modern yang berasal dari barat, namun yang menariknya
dari cita-cita pembentukan khilafah bentukan Ikhwan, Al-Banna mentransformasi
system demokrasi parlementer konstitusional dan memasukkan Islam sebagai
landasannya, yang di kenal sebagai sistim syuro, sistim pemerintahan atau
politik yang di selenggarakan sesuai dan dalam landasan-landasan tertentu yaitu
Syuro (Musyawarah), Hurriyah (kebebasan), Musawah (persamaan), ‘Adl (keadilan),
Ta’ah (kepatuhan), dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Al-Banna juga berpendapat bahwa
anggota syuro terdiri dari saru ahli fiqh yang mujtahid yang
penyataan-pernyataannya diperhitungkan dalam fatwah dan pengambilan hukum,
pakar yang berpengalaman dalam urusan publik, semua orang memiliki kepemimpinan
terhadap orang lain yang dikenal Ahlul Halli wal Aqdi (DPR)[40].sebagai
tujuan jangka panjang, Al-Banna menyerukan kerjasama penuh kepada muslim
melalui pakta persekutuan dan pada puncaknya liga bangsa-bangsa Islam.[41]
Tujuan dan sasaran Ikhwanul Muslimin atas gagasan hasan al-banna mengartikan 3
tujuan untuk Ikhwan, yaitu untuk memimpin ummat manusia menuju kesejahteraan di
bawah bendera Islam, untuk memperkuat identitas Islam di kalangan muslim, untuk
menciptakan sebuah gerakan yang dapat mewujudkan Islam dalam terapan kehidupannya
sehari-hari. Al-Banna menyatakan dalam sebuah perkataanya.
‘’ saya mengabdikan diri untuk satu
tujuan untuk membimbing orang-orang Islam dengan kata-kata dan perbuatan. Dan
itulah mengapa saya (Hasan Al-Banna) mendirikan Ikhwanul Muslimin untuk inspirasi
Islam dalam tujuannya yang berarti’’
Dengan menetapkan tujuan-tujuan ini Hasan Al-Banna membangun
sebuah kerangka utama, yang menginspirasi Ikhwanul Muslimin hingga saat ini.[42]
Tujuan lain hasan Al-Banna yaitu untuk politik Ikhwanul Muslimin adalah: ada 2
bagian umum:
A. Bagian
1
Ø Membebaskan
Negara-Negara Islam dari pendudukan Negara asing
Ø Untuk
menahan gelombang materialistis dan atheis yang mendominasi di Negara-negara Muslim.
Ø Untuk
merumuskan sistempolitik Social, Ekonomi, pendidikan dan yudikatif.
B. Bagian
2
Ø Untuk
menyatukan semua Negara Muslim di bawah bendera Islam
Ø Untuk
menyeimbangkan panggilan Islam (Al-Da’wah Al-Islamiyah) di seluruh dunia dan
mengundang/ mengajak Negara lain untuk seruan islam.
Sekilas
maksud dan tujuan tersebut secara mendalam saling berhubungan mereka memainkan
peran pentingdalam menyelaraskan anggotanya dengan ideologinya dan
kepemimpinannya (Al-Banna). Al-banna tidak hanya merekrut para anggotanya,
namun yang lebih penting untuk membawa identitas mereka dalam satu gerakan
Ikhwanul Muslimin.[43]
Ikhwanul muslimin mengusulkan sebuah
ideologi politik yang mengandung unsur-unsur Ideology politik Islam. Tetapi
yang juga di garis depan berfikir tentang penggabungan prinsip-prinsip
demokrasi yang konsisten dengan penerapan hukum Islam. Ikhwanul Muslimin juga
memberikan perlindungan bagi kaum minoritas (Kristen Koptik Mesir) dan
memberikan hak-hak nya sebagai warga Negara.[44]
Gagasan Ekonomi
Islam
Ekonomi Islam , Hasan Al-Banna memiliki pemikiran
nasionalisme ekonomi, di masa abad 20 mesir masih dalam kendali inggris, yang
masih mendominasinya mata uang Inggris yaitu Pound, Al-Banna mengatakan bahwa
sudah sepatutnya mesir memiliki mata uang secara mandiri yang tidak bergantung
pada mata uang pound, dalam anjuran al-banna masir sudah sepatutnya memiliki
mata uang terstandar Emas (Dinar), dalam hal ini dengan manajemen mata uang
yang baik akan dapat mengendalikan inflasi mesir yang tinggi, dan akan
menciptakan kondisi yang lebih baik dan memberikan keuntungan bagikeseimbangan
perdagangan Internasional Mesir. Al-Banna dari ekonomi Nasionalisme nya yang
dikemukakannhya adalah melakukan mesirisai atas perusahaan swasta di mesir,
dalam bidang perkebunan terbuka, transportasi dan keperluan umum. Ikhwan tidak
tinggal diam, dan memberikan tindakan atas problem ini, yaitu dengan gagasan
pemikirannya al-banna, Ikhwanul Muslimin mendirikan perusahaan pemintalan dan
tenun, perusahaan perdagangan dan rekayasa serta pers Islam, meskipun
kesuksesan aktivis seperti ini terlihat biasa saja, namun ini memperlihatkan
keselarasan atara aktivisme ekonomi dan idealisme Agama.[45]
Epilogue
Berdasarkan pemaparan dan ulasan di atas bahwa Al-Banna
sebagai Bapak pendiri Ikhwanul Muslimin sekaligus bapak pembaharu Islam modern,
beliau bukan sekedar ahli teori belaka, namun sebagai pemimpin ummat Islam,
Al-Banna lebih mengedepankan keseimbangan hidup dalam berbagai aspek, termasuk
dalam pemikirannya bahwa islam adalah Agama yang universal dalam segala aspek
kehidupan di berbagai bidang, Politik, Social, Pendidikan, Kenegaraan, Ekonomi,
Budaya hingga sampai tatanan yang terkecil yaitu Keluarga. Sebagai penggagas
reformasi Islam modern yang mengutamakan perkembangan keilmuan dar urusan dunia
dan akhirat, serta diselaraskan dalam pemikirannya, dengan membawakan pergerakan
yang besar sekaliber Ikhwanul Muslimin, Al-Banna mengembangkan gagasannya
sebagian besar bukanlah muatan teori belaka, namun secara langsung al-banna
melihat fakta dan peristiwa tersebut, yang di tuangkan dalam pemikirannya dan
sebagai perjalanan yang gemilang bagi ilmuan islam modernis, menorehkan
pemikirannya, Al-Banna adalah orang yang hidup di keluarga sederhana, ayahnya
selain sebagai tukang reparasi jam beliau juga sebagai ulama, dengan pendidikan
ayahnya sejak kecil inilah Al-Banna terbentuk menjadi orang yang memiliki
pengaruh atas pemikirannya hingga saat ini. Al-banna berhasil membawakan Islam
modern di kancah dunia, dan menunjukkan Islam adalah agama yang universal.
Walaupun Al-Banna sudah tiada, namun karya-karyanya tidak akan di telan oleh
zaman, dan akan terus hidup di hati para aktivis dan generasi Islam modern
sampai masa yang di tentukan, dan menjadikan inspirasi dan perhatian dunia internasional, terkhusus
dalam organisasi pergerakan yang meneruskan pemikiran Al-Banna. Buah pemikiran
Al-Banna telah melahirkan ribuan pergerakan reformis Islam modern di seluruh
dunia. Dan setidaknya Al-Banna menawarkan Islam ‘’sejati’’ yakni Islam yang
ditawarkan secara global dan tetap mengikuti perkembangan zaman modern serta
menyetarakannya. Namun perlu di perhatikan, walaupun al-banna mengikuti
perkembangan zaman modern, Al-Banna tetap memiliki alur dan koridor yang
menuntunnya ke jalur yang sesuai denagan jati diri Islam. Yaitu pedang Islam
yang di wariskan oleh Rasululloh Muhammad SAW, yang kita sudah tidak asing lagi
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan mengamalkan Islam kepada kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Bibliografi
Abdullah Taufiq,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, t.th.),
Ahmad, Rosmani, Analisis
Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, Analytica Islamica, vol 9.
Al-Anani, Khalil.
‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan Al-Banna in Constructing The
Muslim Brotherhood Collective Identity, United Kingdom’’: Brill Press,
Durham University, Sociology of Islam, 2013.
Chirzin, M, Jihad
Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir Dzilal,
(Solo; Era Intermedia, 2001),
Colombe, M, L’E´
volution de l’E´ gypte—1924–1950 (Paris: G.P. Maisonneuve et Cie, 1951). Adreamura,
journal of political ideologies, a genealogical inquiry into early Islamism:
the discourse of hasan al-banna.
Harnisc, Cris
& Mecham, Quinn.’’ Democratic Ideology in is Islamist Opposition? The
Muslim Brotherhood’s ‘’Civil State’’.: Middle Eastern Studies. Published Online
2009.
Iqbal, Muhammad
dan Nasution, Amin, Husein, Pemikiran Politik Islam dari masa klasik hingga
Indonesia Kontemporer. Edisi refisi, kencana. Medan: 2012.
Mura, Adrea,’’Genealogical
Inquiry Into Early Islamism: The Discourse of Hasan Al-Banna,’’. United
kingdom: Department of Politics and International Relations, University of
Aberdeen, Journal of Political Ideologes, Routledge Taylor and Francis Group,
2012.
Nasution Harun,
(Eds), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.
411, Anggaran Dasar Ikhwan al-Muslimin,
Ruslan. Utsman.
Abdul. Mu’iz, Dr, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin 1928 hingga 1945. (solo:
era intermedia 2000)
Soage. Ana, Belen.
‘’Hasan Al-Banna Or The Politicittion of Islam’’, University of Granada
Published, UNSW Library, Routledge Taylor to Francis Group, 2008.
Warburg, G. R, Egypt
and the Sudan—Studies in History and Politics (London: Frank Cass, 1985);
W. Yale,The Near East A Modern History (Ann Arbor, MI: University of Michigan
Press, 1953).
[1] M. Colombe, L’E´ volution de l’E´ gypte—1924–1950 (Paris: G.P.
Maisonneuve et Cie, 1951). Adreamura, journal of political ideologies, a
genealogical inquiry into early Islamism: the discourse of hasan al-banna.
[2] G. R. Warburg, Egypt and the Sudan—Studies in History and Politics
(London: Frank Cass, 1985); W. Yale,The Near East A Modern History (Ann Arbor,
MI: University of Michigan Press, 1953).
[3] Mura, Adrea,’’Genealogical Inquiry Into Early Islamism: The
Discourse of Hasan Al-Banna,’’. United kingdom: Department of Politics and
International Relations, University of Aberdeen, Journal of Political
Ideologes, Routledge Taylor and Francis Group, 2012.
[4] Rosmani ahmad, Analisis
Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, Analytica Islamica, Vol 9.
Hlm 220. 2007
[5] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 185 dikutip dari Harun
Nasution et. al. Ensiklopedi Islam Indonesia. H 196.
[6] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 185 dikutip dari Harun
Nasution et. al. Ensiklopedi Islam Indonesia. H 303.
[7] Muhammad Iqbal dan amin husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari masa klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 186 dikutip dari Badr Abdul
Razzak Al-Mash, Al-Ihtisab Fi Da’wah Al-Imam Hasan Al-Banna, terj. Abu Zaid,
Manhaj Dakwah Hasan Al-Banna, (solo: citra islam press, 1995), h 49
[8] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 186 dikutip dari Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm 303
[9] Ibid Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, hlm 187.
[10] M. Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir Dzilal, (Solo; Era Intermedia, 2001), hlm. 19-24.
[11] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Houve, t.th.), hlm. 327.
[12] Mahadi Fadulullah, Titik Temu Agama dan Politik, Analisa Pemikiran
Sayyid Qutb, (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 18.
[13] Taufik Abdullah, (eds), Op.cit,
[14] Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwan al-Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu,
Jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 25.
[15] Abdul Halim Mahmud, Op.cit, hlm. 26.
[16] Ruth Starkman, the Concept of Brotherhood Beyond Arendt and the
Muslim Brotherhood, vol 16, (California USA) Program in Writing and Rhetoric,
Starform University, USA, Published Online 2012. Hlm 597.
[17] Ibid Ruth Starkman, The Concept of Brotherhood Beyond Arendt and
The Muslim
Brotherhood. Hlm 599
[18] Soage. Ana, Belen. ‘’Hasan Al-Banna Or The Politicittion of
Islam’’, University of Granada Published, UNSW Library, Routledge Taylor to
Francis Group, 2008. Terjemahan. Hlm 26.
[19] Cris harnisc & Quinn mecham.’’ Democratic ideology in is
islamist opposition? The muslim brotherhood’s ‘’civil state’’.: middle eastern
studies. Published online 2009. Terjemahan Hlm 197.
[20] Al-Anani, Khalil. ‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan
Al-Banna in Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, United
Kingdom’’: Brill Press, Durham University, Sociology of Islam, 2013. Terj Hlm
56-57.
[21] Ibid, ’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan Al-Banna in
Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, terjemahan Hlm 59.
[22] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 186 dikutip dari Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm 204
[23] Al-Anani, Khalil. ‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan
Al-Banna in Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, United Kingdom’’:
Brill Press, Durham University, Sociology of Islam, 2013. Terj Hlm 48
[24] Ibid’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan Al-Banna in Constructing
The Muslim Brotherhood Collective Identity
hlm 49
[25] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 186 dikutip dari Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm 191.
[26] Mura, Adrea,’’Genealogical Inquiry Into Early Islamism: The
Discourse of Hasan Al-Banna,’’. United kingdom: Department of Politics and
International Relations, University of Aberdeen, Journal of Political
Ideologes, Routledge Taylor and Francis Group, 2012. Terjemahan hlm 66.
[27] Al-Anani, Khalil. ‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan
Al-Banna in Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, United
Kingdom’’: Brill Press, Durham University, Sociology of Islam, 2013. Terj Hlm
57-68
[28] Ibid ‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan Al-Banna in
Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, Hlm 51.
[29] Ibid ‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan Al-Banna in
Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, terjemahan. Hlm 52
[30] Ibid ‘’The Power
of The Jama’a: The Role of Hasan Al-Banna in Constructing The Muslim
Brotherhood Collective Identity, terjemahan. Hlm 48
[31] Rosmani ahmad, Analisis Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, Analytica
Islamica, Vol 9.
Hlm 218.
2007
[32] Soage. Ana, Belen. ‘’Hasan Al-Banna Or The Politicittion of
Islam’’, University of Granada Published, UNSW Library, Routledge Taylor to
Francis Group, 2008. Terjemahan. Hlm 29-30.
[33] Ibid ‘’Hasan Al-Banna Or The Politicittion of Islam’’ terjemahan
hlm 31-32.
[34] Ibid ‘’Hasan Al-Banna Or The Politicittion of Islam’’ terjemahan
hlm 31.
[35] Ibid Analysis Islamica Hlm 219 dikutip dari hasan al-banna
risalahat-ta’lim dalam: Majmu’al Rasa’il Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna
(Beirut: Dar Al-Andalus, 1965).
[36] Ibid Analisis Islamica
Hlm 219 dikutip dari dari Hasan Al-Banna Risalah At-Ta’lim dalam: Majmu’al
Rasa’il Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna (Beirut: Dar Al-Andalus, 1965).
[37] Rosmani Ahmad, Analisis Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, Analytica
Islamica, vol 9. Hlm 219. 2007 dikutip dari Charles Wendell, five….hlm 115-116.
[39] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Hlm 186 Dikutip dari Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm 196.
[40] Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin
1928 hingga 1945. (solo: era intermedia 2000) hlm 72
[41] Rosmani Ahmad, Analisis Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna,
Analytica Islamica, Vol 9. Hlm 219. 2007 Dikutip dari Hasan Al-Banna Risalah Al-Mu’tamar, Hlm
284-285.
[42] Ibid, Anality Islamica, Hlm 55 Dikutip dari Majmu’at Al-Rasail Hlm
168.
[43]. Al-Anani, Khalil. ‘’The Power of The Jama’a: The Role of Hasan
Al-Banna in Constructing The Muslim Brotherhood Collective Identity, United
Kingdom’’: Brill Press, Durham University, Sociology of Islam, 2013. Terj Hlm
55
[44] Cris Harnisc & Quinn Mecham.’’ Democratic ideology in is
Islamist Opposition? The Muslim Brotherhood’s ‘’Civil State’’.: Middle Eastern
Studies. Published Online 2009. Terjemahan Hlm 202
[45] Rosmani Ahmad, Analisis Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, analytica
islamica, vol 9. Hlm 220. 2007 dikutip dari M. husaini, the Moslem Brethren
(Beirut, khayats 1956). Hlm 56.
0 komentar:
Posting Komentar