Senin, 06 Oktober 2014

SENI BUDAYA SASTRA MELAYU



PENDAHULUAN
            Berbicara mengenai sastra dan seni orang seringkali mencari sebuah definisi “antologis” mengenai sastra (seni sastra), yaitu sebuah definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra. Orang lupa bahwa sastra hendaknya didefinisikan dalam situasi yang ada dikalangan internal para pemakai atau pembaca sastra itu sendiri. Pendek kata pengertian orang tentang sastra sering dimutlakkan menjadi sebuah tolak ukur universal.

            Diskusi mengenai apa itu sastra, sudah terjadi sejak zaman monotorik. Walaupun pengertian sastra pada zaman monnotorik itu tidak merupakan satu kesatuan. Pengertian- pengertian sastra termaksud adalah sebagai berikut :
a.       Sastra merupakan sebuah ciptaan, ssebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan. Dalam puisi terungkapkan nafsu-nafsu kodrati yang bernyala-nyala, hakikat hidup dalam alam.
b.      Sastra bersifat otonom , tidak mengacu kepada sesuatu yang lain Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema di dalam hampir setiap pendekatan terhadap sastra. Fungsi puisi seperti diutarakan oleh Jakobson.
c.       Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan suatu bentuk atau ungkapan tertentu. Dalam pandangan ini puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya menggambarkan isi, bahasanya bersifat elastis.
d.      Sastra menghidangkan sebuah sintesa, antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya, ada pertentangan antra yang disadari dan tidak disadari.
e.       Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk Sastra lainnya. Ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.[1]
                                                                          
Agar mudah dipahami dan menghindari melebarnya pembahasan, terkait pembahasan ini pemakalah membatasi masalah, pembatasan dirrumuskan dalam dua pernyataan secara garis besar :
1.    Bagaimana kesusastraan Melayu terbentuk?
2.    Etnis apa saja yang terlibat dalam proses pembentukan sastra Melayu?
PEMBAHASAN
Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang sastra melayu, alangkah lebih baiknya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan sastra itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Sastra mengandung pengertian antara lain :
1.      Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dikitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari
2.      Kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik dan lirik.
3.      Kitab suci (Hindu), (kitab) ilmu pengetahuan.
4.      Pustaka, kitab primbon (berisi) ramalan, hitungan dan sebagainya.
5.      Tulisan, huruf[2]
Kesusastraan adalah salah satu cabang kesenian yang mempergunakan material bahasa. Berdasarkan bahasa itulah kita menglasifikasikan kesusastraan. Diantara hal yang berkaitan dengan sastra ialah bahasa, khususnya bahasa Melayu, Pada Zaman Kerajaan Sriwijaya, Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa internasional Lingua franca di kepulauan Nusantara, atau sekurang-kurangnya sebagai bahasa perdagangan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu, semenjak pusat kerajaan berada di Malaka kemudian pindah ke Johor, akhirnya pindah ke Riau mendapat predikat pula sesuai dengan nama pusat kerajaan Melayu itu. Karena itu bahasa Melayu zaman Melaka terkenal dengan Melayu Melaka, bahasa Melayu zaman Johor terkenal dengan Melayu Johor dan bahasa Melayu zaman Riau terkenal dengan bahasa Melayu Riau.
SEJARAH TULIS SASTRA MELAYU
Naskah awal, bukti internal yang didapat dari naskah Melayu yang ada seperti Hikayat Raja-raja Pasai menyatakan bahwa naskah-naskah Melayu sudah tertulis sejak abad ke 14; namun tidak ada naskah yang selamat yang setua itu. Diantara naskah paling awal yang dapat ditetapkan tanggalnya dengan pasti adalah surat dari penguasa Melayu kepada Istana Eropa. Naskah keagamaan, ‘Aqaid dari al-Nasafi membuat tanggal si penyalin tahun 1590. Namun dalam hal sastra, naskah tertua yang dapat ditetapkan tanggalnya adalah salinan  Hikayat Seni Rama yang diberi julukan Uskup agung Laud, pada tahun 1633, karenanya tanggal penyalinannya harus beberapa tahun sebelumnya. Versi naskah pertama sejarah melayu, catatan tentang penguasa malaka dan keturunan mereka diselesaikan pada tahun 1612. Meskipun diketahui ada 29 salinan naskah ini, tidak satupun tanggalnya dapat ditetapkan sebagai lebih dini daripada abad ke-19. Keadaan ini membuat penguraian sejarah tradisi naskah menjadi sulit, halitu berarti kita tidak mempunyai bukti adanya tradisi itu, sebelum adanya dampak yang dalam dari islam pada masyarakat Asia Tenggara. Prasasti Melayu kuno yang berasal dari abad abad ke-7 hingga abad ke-10, ditulis dengan aksara india, namun prasasti ini tidak memberi penunjuk tentang bentuk tradisi kesastraan manapun.
Sejalan dengan kesulitan dalam mendapatkan gambaran jelas tentang tradisi sepanjang waktu adalah masalah variasi setempat. Naskah melayu beredar di seluruh geografi yang luas di antara orang-orang yang menggunakan dialek Melayu dan bahasa lain,tentu saja perbedaan ini terpancar pada tradisi naskahnya. Di antaranya ada bentuk-bentuk yang cukup berbeda, namun secara garis besar tradisi naskah Jawi Melayu-Islam utama telah sangat berhasil dalam menyaring keluar perbedaan-perbedaan setempat. Marsden, seorang perwira dari british east india compani yang menulis tatabahasa melayu awal, menyatakan adanya konsistensi mencolok dalam gaya penulisan, tidak hanya pada buku prosa dan sajak, tetapi juga pada korespondensi surat-menyurat.
Bahasa Melayu tulisan dalam naskah jawi merupakan artefak yang sangat terencana yang melapisi serangkaian dialek melayu setempat serta Bahasa pertama lainnya. Bahkan daerah yang terkenal gaya sastranya yang indah, seperti riau, Bahasa tulisan ini jauh terlepas dari Bahasa lisannya. Konsistensi strata atas tulisan ini dipertahankan oleh intensitas jaringan  kerja komersial terutama keagamaan dengan peziarah pelajar, pelajari lanjutan  dan sarjana yang berpindah-pindah di kepulauan serta menempuh pelajaran ke Makkah. Alasan kedua untuk keseragaman adalah bahwa penulisan naskah melayu merupakan  pusaran setempat di samudra yang memiliki kegiatan penulisan Bahasa arab. Naskah-naskah melayu di tulis dengan huruf nashki. Tulisan juru tulis di dunia islam. Ada kemapanan segala waktu dan tempat dalam jaringan yang luas dan tersebar dansaling berhubungan. Variasi paling nyata dalam penggunaan huruf jawi justru adalah justru ciri-ciri yang tidak dibakukan melalui rujukan pada tradisi islam yang agung itu, meliputi pilihan antara ejaan etimologi atau fonemis serta cara menandai vocal. Pengaruh dialek dan Bahasa setempat menyusup dalam tradisi naskah meski derajat terjadinya diperkecil oleh sifat huruf jawi, sebetulnya tidak cocok untuk menulis Bahasa melayu. Kelemahan berasal dari ‘’keengganan’’ Bahasa Arab menandai vocal dan diftong, karenanya tidak terlayani dengan baik. Namun, ada satu keuntungan dari huruf yang tidak sempurna ini, ia menutupi perubahan vocal yang merupakan unsur menonjol variasi dialek penutur melayu. Variasi daerah Bahasa melayu lisan kadang-kadang terlihat pada kosakatanya. Oleh karena itu tidak mengherankan, variasi semacam itu cenderung lebih nyata pada gaya yang paling dekat dengan pelisanan, yaitu syair bentuk puisi melayu, ia tak lazim ada, namun bukan tidak ada, daftar melayu yang lebih terolah. Hikayat raja-raja Banjar dan kotaringin merupakan satu kasus. Teks ini ditulis dalam Bahasa sastra melayu baku, namun di bagian akhirnya menunjukkan besarnya pengaruh Bahasa Banjar lisan, dialek melayu yang dipengaruhi oleh Bahasa Dayak dan Jawa.[3]
Dalam pengaruh estetis, dunia Jawi tidak memiliki seni kaligrafi yang lebih Indah daripada seni kaligrafi India atau Persia. Dalam rancangan Islam, dunia bahari melayu merupakan kebudayaan skala kecil, naskahnya agak sederhana. Aksara naskhi menempatkan mereka pada dunia para sarjana dan juru tulis alih-alih ahli menulis halus. Memang benar bahwa Abdur Rauf dari Sinkel, pernah berbicara tentang kedalaman kaligrafi, namun penggalan dari lembar rancangan para ahli menulis halus yang terkenal tidak dijual dipasar Asia Tenggara. Tampaknya tidak terdapat persaudaraan para pemula dalam seni kaligrafi yang diturunkan dari khalifah di zaman dahulu. Di Persia atau India, seorang khalifah atau raja mungkin ahli menulis halus, namun tidak satu penguasapun didaerah bahari di Asia Tenggara yang dikenal tulisannya yang indah.
Hal itu bukan berarti tidak ada contoh tulisan indah yang baik atau naskah yang dihias dengan bagus. Keanggunan surat negara jarang tertandingi oleh buku. Tulisan pada halaman berpasangan pertama buku biasanya dipasang dengan garis tepi yang lebar. Contoh yang mengesankan, garis tepi diisi dengan rangka berwarna yang rumit, dihias dengan ruwet, dengan ragam hias sulur melingkar. Kadang-kadang digunakan cat emas. Pembukaan pertama berfungsi sebagai hiasan sampul pada buku modern. Ini merupakan cara mendandani naskah, seperti pakaian indah menandakan status seseorang di istana atau masyarakat. Tulisannya asli dekoratif, memberi kemungkinan untuk garis cantik atau hiasan. Cirinya dapat ditonjolkan untuk memberi penekanan pada kata dan ungkapan kunci, cara menuliskannya dengan garis yang lebih tebal, atau dengan tinta merah. Kata kunci berupa kutipan berbahasa Arab, terutama dari Quran , nama dan gelar kerajaan, atau yang lazim, “kata tanda baca”. Tanda baca jarang ada pada naskah Jawi, namun jeda, bagian baru, dan perubahan pokok bahasan pada naskah ditandai dengan kata yang berfungsi menandai titilk balik. Pada saat yang sama bukan tidak biasa bila orang membalik halaman berhias pertama naskah dan menemukan sisanya hanya teks biasa. Prosa cerita mungkin akan mengisi halaman demi halaman penuh dengan naskah., kadang-kadang naskah digarisi dengan tinta berwarna, kadang-kadang tidak. Tidak ada judul, tidak ada halaman judul, tidak ada judul bab, tidak ada alinea, tidak saatupun dari perlengkapan yang membuat buku modern mudah terlihat. Bahkan Kolofon Mawa’iz al Badi’ merupakan contoh semacam itu. Awalnya ada ditengah baris keempat. Pada kebanyakan dari mereka, bahkan garis tepi pada halaman pembukanya dibiarkan kosong.
Gambar tak lazim pada naskah Jawi-Melayu, mencerminkan batasan Islam dalam melukiskan makhluk hidup. Jarang ada penulis Jawi yang melanggarnya, dan naskah Melayu bertahan dengan ragam hias bangun berulang dan alamiah. Mungkin karena itulah bukan kebetulan naskah jawi langka yang memuat gambar seperti dibuat di Jawa, karenanya berada dibawah pengaruh tradisi naskah jawa lebih menganjurkan kebebasan mutlak. Boleh dikatakan di dunia Melayu, naskah selalu kalah penting daripada teks. Bahkan ketika naskah disimpan untuk keperluan upacara, sebagai harta warisan, teksnyalah, bukan naskah fisiknya, yang dihargai. Naskah tempat untuk teks.[4]
Jika membahas tentang sastra Melayu pada dasarnya semua tulisan dalam bahasa Melayu selalu terfokus pada karya-karya sastra dalam bahasa Melayu-Rendah. Alasannya karena diketahui bahasa ini ternyata jauh lebih tua dari kesusastraan “resmi” kita dalam bahasa Melayu Tinggi atau Melayu Riau dan dalam bahasa Indonesia. Namun mengenai kedudukan dari bahasa ini sendiri masih dipertanyakan, apakah ia dianggap sebagai kesusastraan resmi atau sejajar dengan kedudukan keusastraan Indonesia dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali Madura, atau Batak.
Karya Prosa Melayu merupakan bagian hasil karya sastra melayu yang asli, banyak yang diadopsi dari sastra bangsa-bangsa yang belum islam, berisi mengenai terjemahan atau Salinan naskah-naskah yang disusun dalam Bahasa sansekerta, dalam salah satu Bahasa yang hidup  di hisdostan atau Bahasa siam dan sebagainya. Dalam naskah-naskah ini, sepanjang isinya bukan seluruhnya bersifat romantik tentu saja dari mitologi india serta ajarannya tentang para dewa memainkan peranan utama. Naskah yang diperoleh dari bangsa-bangsa Islam, khususnya  bangsa  arab dan Persia, yang di dalamnya terdapat tafsiran al-qur’an yang diberikan oleh alim ulama menjadi dasar segala sesuatu. Tidak hanya  pada  buku prosa dan sajak, tetapi juga  pada korespondensi surat menyurat.
Sastra Melayu rendah sebenarnya sudah masuk sejarah. Bahasa itu sudah milik masa lampau. Bahasa itu sudah tidak hidup sejak tahun 1966. Membaca sastra dalam bahasa Melayu-Rendah seperti membaca sastra Jawa Kuno, misalnya, sebagian besar kosakatanya  dapat kita pahami namun memang ada berpuluh atau beratus kata-kata yang harus dijelaskan artinya, karena kata-kata itu sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Namun tak dapat disangkal bahwa manusia Indonesia sekarang ini tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk membaca karya-karya.[5]
Bahasa melayu rendah dengan demikian adalah Bahasa baru, yang bersifat gado-gado yang terbentuk akibat tumbuhnya kota-kota niaga di Indonesia sejak abad ke-17. Bahasa inilah yang mau tidak mau harus dipergunakan oleh pers (dan juga kesusastraan), kalau jumlah pembaca menjadi sasarannya, sebab akan difahami oleh seluruh lapisan masyarakat kota juga orang-orang belanda sendiri yang nati dengan Bahasa ini. Apabila urusan pers, sastra dan penerbitan lain dihubungkan dengan urusan dagang, maka Bahasa melayu rendah merupakan Bahasa bernilai ekonomis.
Dalam kurun abad ke-19 sampai menjelang tahun 1920 bahasa ini dengan sadar dinamai Bahasa Melayu-Rendah baik dalam penerbit Cina, Indo maupun pribumi. Namun dengan gencarnya politik bahasa’’ dari pemerintah kolonial Sejak dibentuknya volkslectuur pada tahun 1908 untuk memerangi bacaan liar’’ dalam Bahasa melayu rendah, maka di lingkungan kaum terdidik pribumi lebih cenderung mempengaruhi Bahasa melayu-riau. Akibatnya Bahasa melayu rendah semakin terbatas dipergunakan oleh di lingkungan masyarakat Cina, terutama dalam pers serta kesusastraan mereka, sehingga Bahasa ini kemudian memperoleh sebutan Melajoe-Tionghoa atau Melajoe-Cina yang masih terus mewarisi ‘’kerusakan bahasa’’ dari masa Melayu Rendah.[6]

SASTRA MELAYU-CINA (TIONGHOA)
Pada tahun 1880 masih berkembang bentuk-bentuk syair dalam bahasa Melayu-Rendah yang berisi rekaman peristiwa-peristiwa penting sezaman atau ungkapan perasaan pengarangnya dalam hal asmara. Sastra Melayu Rendah digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bahasa melayu yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. Mereka adalah masyarakat yang mengalami keterputusan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai. Namun pada permulannya sampai kira-kira tahun 1922, karya sastra Melayu-Rendah juga ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indonesia. Novel pertama dalam bahasa ini, yakni Lawah-lawah Merah,dikerjakan oleh H.D. Wiggers ayah pengarang Melayu-Rendah yang terkenal F.F. Wiggers F.D.J. Pangemanann.[7]
Berdasarkan sejarah asal-usulnya, terdapat empat golongan Tionghoa yang mempergunakan bahasa cina, yaitu : Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Katon. Mereka semua berasal dari Cina Selatan, Golongan Tionghoa yang paling lama bermigrasi ke Indonesia adalah orang-orang Hokkian, yaitu abad ke 16.Sehingga adaptasi budaya mereka terhadap Indonesia paling kuat.
Sebab-sebab sastra golongan Tionghoa di Indonesia  yang menggunakan bahasa Melayu-Rendah muncul di Jawa dari lingkungan kaum Hokkian, yaitu: Orang-orang Hokkian adalah golongan Tionghoa yang paling lama menetap di Indonesia, Sebagian besar orang-orang Tionghoa di Jawa tinggal dikota-kota besar Orang-orang Hokkian di Jawa kebanyakan pedagang sejak abad ke16, sehingga mereka merupakan golongan“borjuis” yang memiliki cukup modal untuk mengembangkan pendidikan.
Jadi sebab utama munculnya sastra Melayu-Tionghoa adalah kebutuhan budaya kaum peranakan yang rata-rata dari kelas pedagang dan pengusaha itu,suatu kelas sosial yang dekat dengan keperluan pendidikan dan bacaan karena mereka tidak menguasai bahasa cina lagi.
Munculnya pers Melayu Rendah dalam tulisan latin dan Arab terjadi pada tahun 1858 di Batavia  dengan surat kabar yang bernama Soerat Chabar Batawi’s yang terbit hari Sabtu tahun 1920 Istilah yang dipakai adalah Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina, tahun 1922 Karya sastra Melayu Rendah ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indonesia, Setelah kemerdekaan bahasa Melayu–Rendah hilang (tidak digunakan lagi), tahun 1966 Bahasa Melayu-Rendah tidak hidup lagi (punah) adapun karya sastra modern kita adalah “ Azab dan Sengsara Seorang Gadis” pada tahun 1919 oleh Merari dan Karya sastra tertua terbit sekitar tahun 1875 yakni terjemahan tebal berjudul Lawah-Lawah Merah dari karya Pont Jest, seorang  pengarang  Perancis, dengan judul yang sama. Kalau ditilik dari usianya, maka sastra yang mempergunakan bahasa Melayu-Rendah ini telah berusia 111 tahun.[8] Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang umum yang berlaku di zamannya (istilah umum).
Seperti yang terlihat dalam data pers dan sastra dalam Bahasa Melayu, sejak pertengahan abad 19 sampai tahun 1920-an, semua karya sastra, baik yang ditulis oleh orang Indo, Cina dan pribumi, mempergunakan Bahasa ini. Hal ini dapat difahami karena kaum peranakan cina tidak satu bangku dalam pendidikan formal di zaman kolonial, sehingga penerbitan Bahasa melayu ini tidak menyentuh mereka. Bentuk-bentuk sastra modern yang berasal dari kebudayaan barat tidak begitu saja muncul dan diterima  oleh masyarakat.
Bentuk-bentuk sastra modern yang berasal dari kebudayaan Barat tidak begitu saja muncul dan diterima oleh masyarakat baru di Indonesia. Munculnya kesusastraan modern Indonesia disebabkan oleh kesiapan masyarakat Indonesia sendiri untuk menerimanya. Jauh sebelum munculnya sastra terjemahan dalam tahun 1870-an, terlebih dahulu dikenal adanya masa penceritaan kembali” kisah-kisah lama yang telah populer dikalangan rakyat, baik berupa cerita lokal maupun dari khazanah sastra Arab. Kenyataan inilah yang terlihat pada pers berbahasa Melayu-Rendah dan berbahasa Jawa pada tahun 1850-an, seperti Poespitamantjawarna (1855) dan Bintang Oetara (1856-1857). Penceritaan kembali dalam bentuk prosa modern ini sesuai dengan gaya bahasa dan gaya penceritaan jamannya.
Data tertua akan adanya “embrio” kesusastraan baru ini terdapat dalam bahasa Jawa yakni terbitnya karya T. Roorda pada tahun 1844 berjudul Raja Pirangon (Gravenhage, 197 halaman). Ternyata karya penceritaan kembali ini bersifat keagamaan, tentang kisah Fir’aun. Pada tahun 1853 disusul dengan karya anonim, Angling Darma (212 halaman). Sedangkan munculnya penceritaan kembali kisah-kisah populer di lingkungan rakyat (sejarah lisan) dalam bahasa Melayu-Rendah baru muncul pada taahun 1859, yakni karya JRPF Gonggrijp, Bagaej-Bagaej Tjerita (Batavia). Kemudian disusul oleh karya JGF Riedel, Inilah Kitab Taman Wandji Namanya, Jah itoe Babrapa Hikayat Orang-orang yang Ampoenya Tjerita (Udjong Pandang, 1862). “Penceritaan kembali” inilah yang merupakan awal perkenalan menuju bentuk-bentuk kesusastraan baru. Dalam bahasa Melayu-Rendah “penceritaan kembali” ini berangsur-angsur lenyap dan digantikan periode “terjemahan”.
Pada tahun 1875, masyarakat pembaca Indonesia telah disuguhi karya-karya sastra modern Barat dalam bentuk terjemahan. Sesuai dengan tingkat apresiasi pembacanya, maka pilihan novel-novel Barat yang diterjemahkan kebanyakan bersifat bacaan remaja atau novel-novel Jules Verne (Hikajat Fileas Fogg, Michael strogoff), Alaksander Dumas (Monte Cristoi), buku-buku serial Tarzan, buku-buku Sherlock Holmes.
Kegiatan terjemahan novel-novel Barat dalam bahasa Melayu-Rendah yang sudah dimulai pada dasawarsa 1870-an oleh orang-orang Belanda dan Indo, baru sekitar tahun 1880-an dimasuki oleh orang-orang peranakan Cina dan baru pada tahun 1890-an terdapat penerjemah Indonesia sendiri. Penerjemah dan penyadur peranakan Cina yang termasyhur ialah Lie Kim Hok. Diantara novel yang telah ia terjemahkan antara lain Hikajat Kapitien Flamberge dari karangan Paul Sauniere dan Seri Rocambole dari karangan Ponson du Terrail. Sedangkan penerjemah dari lingkungan pribumi tercatat yang pertama pada tahun 1893, yaitu RMDR alias Soeriodarmo dengan karyanya Hikajat Tjeritra Kasih Sajang. Kegiatan penerjemahan dari lingkungan pribumi ini kelak akan subur lewat penerbitan pemerintah kolonial, Balai Poestaka.
Bentuk pantun dan syair juga populer pada masa itu, digunakan untuk menyatakan perasaan dan pikiran pengarangnya sejak tahun 1870-an, baik dilingkungan Belanda maupun Cina. Sifat modern dari karya-karya syair dan pantun ini adalah pada “isi” sastranya menyangkut peristiwa aktual zamannya. Pada tahun  1870 telah diterbitkan sebuah buku mungil berjudul Sair Kedatangan Sri Maharadja Siam di Betawi dan pada tahun berikutnya Grafland menulis buku Bahuwa ini Suling ija itju Barapa Segala Orang-orang Moeda di Tanah Minahasa (Batavia, 1871). Penulis-penulis pantun dan syair kebanyakan orang-oraang Belanda daan Cina.
Dalam bidang novel atau novelet dilaporkan karya RMHJ Kartawinata, telegrafis SS Preangan, Hikajat Ali Saleh Anak dari Ali Sarin, Ija itoe Satoe Anak Miskin sampe bisa Menaik tahta Kerajaan Besar yang amat Termulia (Overgedrukt uit de Courant de Minggoe, 1897 no.35). dalam bidang Novel antara tahun 1893-1895 muncul karya-karya sastra modern yang pertama. Sejak itu berkembang kesusastraan modern dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indo yang telah aktif bergerak dalam bidang pers dan sastra terjemahan pada dasawarsa-dasawarsa 1850-an sampai 1880-an, daan pada tahun 1890-an telah menghasilkan karya-karya sastra modern sendiri dengan sumbernya peristiwa-peristiwa di Indonesia.
Karya terakhir dari pengarang Indonesia dalam bahasa Melayu-Rendah ialah Hikajat Kadiroen karangan Semaun (1924) dan karya S. Goenawan, Regent Nekad (1924) yang berisi kisah percintaan tukang kayu dengan putri regent dengan seorang yang terancam batal karena dihalang-halangi orang tua dan sang putri nekad mau bunnuh diri akhirnya menikah.
Pada tahun 1917 badan Volkslectuur diubah menjadi Balai Pustaka. Dan dari penerbitan ini akan muncul kesusastraan modern “kedua”yang sampai sekarang diakui sebagai cikal bakal kesusastraan modern, Sunda modern maupun Indonesia modern. Dengan demikian, jelas bahwa kesusastraan Balai Pustaka digerakkan oleh pemerintah kolonial lewat jalur pendidikan.  Tidak  mengherankan kalau kesusastraan pendidikan formal maka terbitan karyasastranya tidak lepas dari sensor dan syarat-syarat pemerintahan.politik pendidikan itu rupanya amat berhasil dan kesusastraan dalam bahasa melayu rendah yang dahulu ditulis oleh golongan Belanda, Indo, Cina, dan Indonesia sendiri, dan pada tahun 1920-an hanya ditulis oleh golongan Cina, dinamai sebagai kesuastraan “Melayu-Cina”. Novel Terjemahan, Lawah-lawah Merah, Novel tahun 1875
SASTRA MELAYU PRIBUMI
Hadirnya terjemahan novel-novel barat dalam bahasa Melayu-Rendah ini dibaca oleh masyarakat pribumi maupun peranakan Cina di kota-kota di Indonesia (dan juga orang-orang Indo-Belanda). Ini berarti bahwa penduduk pribumi telah dapat menerima kehadiran bentuk-bentuk sastra baru.
Pada zaman kolonial, dikenal istilah “Bacaan Liar” dan “Sekolah Liar” tentu saja predikat “Liar” itu muncul dari kalangan politik penguasa Hindia-Belanda zaman itu.[9] Sekolah liar sebenarnya bukan sekolahnya yang liar, tetapi lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak swasta pribumi yang kebanyakan kaum pergerakan. Disebut liar kkarena sekolah-sekolah itu menanamkan tumbuhnya rasa kebangsaan pada murid-muridnya. Jadi unsur “nasionalisme” dalam sekolah-sekolah itu yang menyebabkan disebut liar. Sebab setiap pergerakan yang oposan pada pemerintah, waktu itu dianggap berbahaya.
Bacaan liar pun mengandung arti yang sama. Bacaan itu hasil penerbitan pihak swasta, yang kebanyakan milik orang Indo-Belanda atau Cina. Penerbitan itu dimulai sekitar tahun 1890-an. Penulis-penulisnya orang Indo-Belanda dan orang Indonesia sendiri. Bacaan liar ini berbentu novel-novel pendek yang diangkat dari peristiwa-peristiwa yang terkenal diberbagai surat kabar.
Bacaan liar sebenarnya hanya merupakan penerbitan dagang dan bukan niat kesusastraan. Tetapi nilai sastranya dibuat begitu rupa menarik, sehingga pembaca ikut terjun dalam “pengalaman estetis” suatu peristiwa nyata. Meskipun dengan sendirinya ditambah atau dikurangi disana-sini, dicampur imajinasinya sendiri.
Beberapa novel dengan niat dagang tadi secara “tidak sengaja” dapat membahayakan anak negeri” untuk melawan Belanda. Misalnya novel Nyai Paina, yang menceritakan pengorbanan seorang gadis cantik anak juru keuangan sebuah pabrik gula. Tuan pabrik adalah Belanda yang bertubuh raksasa. Ia suatu sore  darei teras rumahnya  melihat seorang gadis melintas jalan di muka rumahnya. Segera ia jatuh hati, maka di carilah informasi, siapa anak gadis itu. Dan ternyata anak pegawainya sendiri, juru keuangan. Maka akal liciktuan pabrik kreatif bekerja: seluruh uang gaji pegawai yang menjadi tanggu juru keuangan ia sembunyikan. Karna juru keuangan tidak bisa mengembalikan, maka tuan pabrik minta di gantikan dengan anak gadisnya.tentu saja mereka menolak. Tetapi akhirnya mau membebasakan derita ayahnya. Ia menyamgupi di ambil sebagai nyai oleh tuann pabrik. Tetapi sebelum dikawin, si gadis painah, sengaja mencampurkan dirinya merawat orang-orang desa yang kenah cacar. Beberapa bulan setelah ia di ambil sebagai nyai, painah sakit cacar yang segera menular ke tuan pabri. Tauan pabrik akhirnya meninggal, dan painah selamat, meskipun mukanya bopeng-bopeng.
Cerita keberanian Painah untuk ‘’membunuh’’ Bbelanda inilah yang diawatirkan pemerintah dapat ‘’merusak ketertiban negri’’. Juga novel Rossina H.F.R. Kommer berisi cerita serupa.
SASTRA MELAYU-INDO BELANDA
Yang dimaksudkan dengan sastra Hindia-Belanda disini adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang indo, baik yang keturunan Belanda atau keturunan bangsa Eropa lainnya. Ada juga orang Indonesia yang karangannya masuk dimasukkan ke dalam sastra melayu Hindia-Belanda, seperti Soewarsih Djojopoespito dan Noto Soeroto, tetapi karya-karya mereka tidak berada ditengah arus pokok perkembangan sastra itu.[10]
Sejak permulaan usaha penjajahan bangsa Belanda, di tanah air kita, pada permulaan abad ke 17, sampai beberapa tahun sesudah pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia pada tahun 1949 telah berpuluh-puluh karangan ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indo itu dalam berbagai ragam, berupa buku harian kapten kapal, catatan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman, surat-surat kenangan, selebaran politik, uraian pengamatan keadaan setempat, serta perenungan mengenai alam dan masyarakat di wilayah jajahan Hindia-Belanda. Disamping itu terdapat pula karya-karya dalam bentuk roman, cerita pendek, sketsa, sajak dan lakon sandiwara, karangan-karangan yang bersifat khusus sastra, yang didalam bahasa Belanda dikenal sebagai “Indische Belletrie”, penamaan yang dapat dinamakan dengan “Sastra Hindia Belanda”.[11]
Golongan yang tertinggi ketika itu adalah masyarakat belanda yang menurut Robert van Niel, pada tahun 1900 golongan ini berjumlah 70.000 yang 75% yang terdiri dari golongan Indo. Di bawah itu terdapat golongan ‘’Timur Asia’’ yang terdiri dari orang Cina, Timur Tengah, India. Dan yang paling bawaah golongan Bumiputra yang terdiri dari masyarakat Indonesia.
Khusus mengenai golongan Indo ini terjaring informasi dari van Niel dan Achmad Adam (Malaysia) yang menimbulan persoalan kapan, siapa saja dan dengan cara bagaimana kaum Indo ini merintis tumbuhnya sastra modern di Indonesia. Dikatakan bahwa kaum Indo merupakan kaum yang dilahirkan oleh ibu-pribumi dan ayah Belanda.tetapi disebut juga bahwa kaum Indo termasuk mereka yang berayah-ibu belanda tetapi dilahirkan Indonesia. Namun penggolongan terakhir ini kiranya terjadi setelah Perang Dunia I, yani etika banyak pegawai Hindi-Belanda yang membawa istri mereka yang Belanda ke Indonesia. Sebelum itu bahkan sejak jaman Jan Pieterzoon Coen (1620-an) kaum lelaki Belanda banyak yang mengambil istri atai nyai wanita-wanitapribumi.  Hadirnya wanita-wanita Belanda di Indonesia pada zaman Coen merupakan sebuah eksperimen yang ternyata kelak gagal. Waktu itu di coba didatangkan gadis-gadis yatim piatu dari srama-asrana mereka di negri Belanda, namun mereka bernasib kurang bagus di Batavia karna jumlah pria jauh lebih banyak. Lebih-lebih setelah keponaka Coen sendiri menjadi ‘’korban’’ dari ‘’kehausan’’ kaum pria Bbelanda ini.
Karna kaum Indo dilahirkan di Indonesia dalam lingkungan budaya campuran dengan pemisah golongan yang tegas-  maka mereka menganal baik dua budaya tersebut. Mereka mampu berbahasa Belanda dan berbaha pribumi atau bahasa Melayu-Rendah. Dan di sinilah pertanyaan tersebut muncul. Dari data sementara diketahui bahwa kaum Indo mulai atif dalam kegiatan pers Melayu-Rendah pada desawarsa 1870-an, begitupula dalam penulisan sastra. Dan perana mereka ini nampa serut pada desawarsa 1910-an.
Karya-karya sastra, baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa sastra Melayu-Rendah, yang ditulis golongan Indo terbelah dalam dua golongan itu merupakan faktor penting dalam penyumbangan  kemunculan sastra modern di Indonesia. Bahkan mereka juga mengenal golongan masyarakat Cina.
Bukan hanya dalam kesastraan peran mereka yang pantas di catat, tetapi juga dalam bidang-bidang seni yang lain, seperti seni lukis, seni musyik, seni teater, seni film. Sebab kaum Indo sebenarnaya, yakni mengenal budaya Barat dari ayahnya dan budaya pribumi dari ibunya. Inilah yang saya maksud dengan sastra Indo-Belanda itu, dalam arti karya-karya satra baik dalam bahasa Belanda maupun Melayu-Rendah atau bahasa daerah yang ditulis oleh kaum Indi tempo doeloe.
PENUTUP
            Kesusastraan adalah salah satu cabang kesenian yang mempergunakan material seni bahasa. Berdasarkan bahasa itulah kita mengklasifikasikan kesusastraan. Memang tak dapat dipungkiri adanya perluasan bahasa dan perpindahan sosial suatu pengguna bahasa ditempat lain, sehingga klasifikasi sastra beralih dari bahasa ke kelompok sosial yang dinamakan bangsa.
Karena bahasa ini dipakai sebagai bahasa pergaulan di luar rumah dan kelompok oleh berbagai macam kelompok asal, maka terjadilah berbagai bahasa Melayu-Rendah dengan berbagai dialek. Kelompok masyarakat Belanda akan mempergunakan bahasa ini sesuai dengan sifat bahasa mereka, begitu juga dari kelompok Cina dan Pribumi, sehingga sastra melayu-Rendah terbagi kedalam tiga kategori yang telah dijelaskan sebelumnya dengan berbagai bentuk karya sastra diantaranya Novel terjemahan, Cerpen, drama dan Teater, dan Novel (yang dimodifikasi sesuai bahasa penulisnya)

DAFTAR PUSTAKA

Harapan, Anwarudin, Sejarah Sastra dan Budaya Betawi, 2006 Asosiasi Pelatih Pengembangan Masyarakat, Jakarta.

Pradotokusumo, Partini Sardjono Pengkajian Sastra, 2005 Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Bahasa  dan sastra, Tradisi Tulis Melayu. Indonesia heritage jilid 10. Olehglorier International
Sumarjdo, Jakob, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, 2004 Galang Press, Yogyakarta,
Sastrowardoyo Subagio, Sastra Hindia Belanda dan Kita, 1990 Balai Pustaka,  Jakarta


[1] Anwarudin Harapan, Sejarah Sastra dan Budaya Betawi, Asosiasi Pelatih Pengembangan Masyarakat, Jakarta 2006, hal. 104
[2] Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005 hal.1
[3] Bahasa  dan sastra, tradisi tulis melayu.Indonesia heritage jilid 10. Olehglorier international, hal. 22-23
[4] Ibid., hal. 23
[5] Jakob Sumarjdo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, Galang Press, Yogyakarta, hal 3
[6] Ibid., hal 22
[7] Ibid., 23
[8] Ibid., hal 2
[9] Ibid., hal. 267
[10] Sastrowardoyo Subagio, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990, Jakarta, hal. 11
[11] Ibid., hal. 11

0 komentar:

Posting Komentar