PENDAHULUAN
Berbicara
mengenai sastra dan seni orang seringkali mencari sebuah definisi “antologis”
mengenai sastra (seni sastra), yaitu sebuah definisi yang mengungkapkan hakikat
sebuah karya sastra. Orang lupa bahwa sastra hendaknya didefinisikan dalam
situasi yang ada dikalangan internal para pemakai atau pembaca sastra itu
sendiri. Pendek kata pengertian orang tentang sastra sering dimutlakkan menjadi
sebuah tolak ukur universal.
Diskusi
mengenai apa itu sastra, sudah terjadi sejak zaman monotorik. Walaupun
pengertian sastra pada zaman monnotorik itu tidak merupakan satu kesatuan.
Pengertian- pengertian sastra termaksud adalah sebagai berikut :
a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, ssebuah kreasi,
bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia
baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan
menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.
Dalam puisi terungkapkan nafsu-nafsu kodrati yang bernyala-nyala, hakikat hidup
dalam alam.
b. Sastra bersifat otonom , tidak mengacu kepada
sesuatu yang lain Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari
keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema di dalam hampir
setiap pendekatan terhadap sastra. Fungsi puisi seperti diutarakan oleh
Jakobson.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi.
Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu
keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan
suatu bentuk atau ungkapan tertentu. Dalam pandangan ini puisi dan
bentuk-bentuk sastra lainnya menggambarkan isi, bahasanya bersifat elastis.
d. Sastra menghidangkan sebuah sintesa, antara
hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa
bentuknya, ada pertentangan antra yang disadari dan tidak disadari.
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh
puisi dan bentuk-bentuk Sastra lainnya. Ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.[1]
Agar mudah dipahami dan
menghindari melebarnya pembahasan, terkait pembahasan ini pemakalah membatasi
masalah, pembatasan dirrumuskan dalam dua pernyataan secara garis besar :
1. Bagaimana kesusastraan Melayu terbentuk?
2. Etnis apa saja yang terlibat dalam proses pembentukan
sastra Melayu?
PEMBAHASAN
Sebelum lebih jauh menjelaskan
tentang sastra melayu, alangkah lebih baiknya kita harus mengetahui apa yang
dimaksud dengan sastra itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa Sastra mengandung pengertian antara lain :
1. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai
dikitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari
2. Kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan
tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan,
keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik dan lirik.
3. Kitab suci (Hindu), (kitab) ilmu pengetahuan.
4. Pustaka, kitab primbon (berisi) ramalan, hitungan dan
sebagainya.
5. Tulisan, huruf[2]
Kesusastraan adalah salah satu
cabang kesenian yang mempergunakan material bahasa. Berdasarkan bahasa itulah
kita menglasifikasikan kesusastraan. Diantara hal yang berkaitan dengan sastra
ialah bahasa, khususnya bahasa Melayu, Pada Zaman Kerajaan Sriwijaya, Bahasa
Melayu sudah menjadi bahasa internasional Lingua franca di kepulauan Nusantara,
atau sekurang-kurangnya sebagai bahasa perdagangan di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu, semenjak pusat kerajaan berada di Malaka kemudian pindah ke
Johor, akhirnya pindah ke Riau mendapat predikat pula sesuai dengan nama pusat
kerajaan Melayu itu. Karena itu bahasa Melayu zaman Melaka terkenal dengan
Melayu Melaka, bahasa Melayu zaman Johor terkenal dengan Melayu Johor dan
bahasa Melayu zaman Riau terkenal dengan bahasa Melayu Riau.
SEJARAH TULIS SASTRA MELAYU
Naskah awal, bukti internal yang
didapat dari naskah Melayu yang ada seperti Hikayat Raja-raja Pasai menyatakan
bahwa naskah-naskah Melayu sudah tertulis sejak abad ke 14; namun tidak ada
naskah yang selamat yang setua itu. Diantara naskah paling awal yang dapat
ditetapkan tanggalnya dengan pasti adalah surat dari penguasa Melayu kepada
Istana Eropa. Naskah keagamaan, ‘Aqaid dari al-Nasafi membuat tanggal si
penyalin tahun 1590. Namun dalam hal sastra, naskah tertua yang dapat
ditetapkan tanggalnya adalah salinan
Hikayat Seni Rama yang diberi julukan Uskup agung Laud, pada tahun 1633,
karenanya tanggal penyalinannya harus beberapa tahun sebelumnya. Versi naskah
pertama sejarah melayu, catatan tentang penguasa malaka dan keturunan mereka
diselesaikan pada tahun 1612. Meskipun diketahui ada 29 salinan naskah ini,
tidak satupun tanggalnya dapat ditetapkan sebagai lebih dini daripada abad
ke-19. Keadaan ini membuat penguraian sejarah tradisi naskah menjadi sulit,
halitu berarti kita tidak mempunyai bukti adanya tradisi itu, sebelum adanya
dampak yang dalam dari islam pada masyarakat Asia Tenggara. Prasasti Melayu
kuno yang berasal dari abad abad ke-7 hingga abad ke-10, ditulis dengan aksara
india, namun prasasti ini tidak memberi penunjuk tentang bentuk tradisi
kesastraan manapun.
Sejalan dengan kesulitan dalam
mendapatkan gambaran jelas tentang tradisi sepanjang waktu adalah masalah
variasi setempat. Naskah melayu beredar di seluruh geografi yang luas di antara
orang-orang yang menggunakan dialek Melayu dan bahasa lain,tentu saja perbedaan
ini terpancar pada tradisi naskahnya. Di antaranya ada bentuk-bentuk yang cukup
berbeda, namun secara garis besar tradisi naskah Jawi Melayu-Islam utama telah
sangat berhasil dalam menyaring keluar perbedaan-perbedaan setempat. Marsden,
seorang perwira dari british east india compani yang menulis tatabahasa melayu
awal, menyatakan adanya konsistensi mencolok dalam gaya penulisan, tidak hanya
pada buku prosa dan sajak, tetapi juga pada korespondensi surat-menyurat.
Bahasa Melayu tulisan dalam naskah
jawi merupakan artefak yang sangat terencana yang melapisi serangkaian dialek
melayu setempat serta Bahasa pertama lainnya. Bahkan daerah yang terkenal gaya
sastranya yang indah, seperti riau, Bahasa tulisan ini jauh terlepas dari
Bahasa lisannya. Konsistensi strata atas tulisan ini dipertahankan oleh
intensitas jaringan kerja komersial
terutama keagamaan dengan peziarah pelajar, pelajari lanjutan dan sarjana yang berpindah-pindah di
kepulauan serta menempuh pelajaran ke Makkah. Alasan kedua untuk keseragaman
adalah bahwa penulisan naskah melayu merupakan
pusaran setempat di samudra yang memiliki kegiatan penulisan Bahasa
arab. Naskah-naskah melayu di tulis dengan huruf nashki. Tulisan juru tulis di
dunia islam. Ada kemapanan segala waktu dan tempat dalam jaringan yang luas dan
tersebar dansaling berhubungan. Variasi paling nyata dalam penggunaan huruf
jawi justru adalah justru ciri-ciri yang tidak dibakukan melalui rujukan pada
tradisi islam yang agung itu, meliputi pilihan antara ejaan etimologi atau
fonemis serta cara menandai vocal. Pengaruh dialek dan Bahasa setempat menyusup
dalam tradisi naskah meski derajat terjadinya diperkecil oleh sifat huruf jawi,
sebetulnya tidak cocok untuk menulis Bahasa melayu. Kelemahan berasal dari
‘’keengganan’’ Bahasa Arab menandai vocal dan diftong, karenanya tidak
terlayani dengan baik. Namun, ada satu keuntungan dari huruf yang tidak
sempurna ini, ia menutupi perubahan vocal yang merupakan unsur menonjol variasi
dialek penutur melayu. Variasi daerah Bahasa melayu lisan kadang-kadang
terlihat pada kosakatanya. Oleh karena itu tidak mengherankan, variasi semacam
itu cenderung lebih nyata pada gaya yang paling dekat dengan pelisanan, yaitu
syair bentuk puisi melayu, ia tak lazim ada, namun bukan tidak ada, daftar melayu
yang lebih terolah. Hikayat raja-raja Banjar dan kotaringin merupakan satu
kasus. Teks ini ditulis dalam Bahasa sastra melayu baku, namun di bagian
akhirnya menunjukkan besarnya pengaruh Bahasa Banjar lisan, dialek melayu yang
dipengaruhi oleh Bahasa Dayak dan Jawa.[3]
Dalam pengaruh estetis, dunia Jawi
tidak memiliki seni kaligrafi yang lebih Indah daripada seni kaligrafi India
atau Persia. Dalam rancangan Islam, dunia bahari melayu merupakan kebudayaan
skala kecil, naskahnya agak sederhana. Aksara naskhi menempatkan mereka pada
dunia para sarjana dan juru tulis alih-alih ahli menulis halus. Memang benar
bahwa Abdur Rauf dari Sinkel, pernah berbicara tentang kedalaman kaligrafi,
namun penggalan dari lembar rancangan para ahli menulis halus yang terkenal
tidak dijual dipasar Asia Tenggara. Tampaknya tidak terdapat persaudaraan para
pemula dalam seni kaligrafi yang diturunkan dari khalifah di zaman dahulu. Di
Persia atau India, seorang khalifah atau raja mungkin ahli menulis halus, namun
tidak satu penguasapun didaerah bahari di Asia Tenggara yang dikenal tulisannya
yang indah.
Hal itu bukan berarti tidak ada
contoh tulisan indah yang baik atau naskah yang dihias dengan bagus. Keanggunan
surat negara jarang tertandingi oleh buku. Tulisan pada halaman berpasangan
pertama buku biasanya dipasang dengan garis tepi yang lebar. Contoh yang
mengesankan, garis tepi diisi dengan rangka berwarna yang rumit, dihias dengan
ruwet, dengan ragam hias sulur melingkar. Kadang-kadang digunakan cat emas.
Pembukaan pertama berfungsi sebagai hiasan sampul pada buku modern. Ini
merupakan cara mendandani naskah, seperti pakaian indah menandakan status
seseorang di istana atau masyarakat. Tulisannya asli dekoratif, memberi
kemungkinan untuk garis cantik atau hiasan. Cirinya dapat ditonjolkan untuk
memberi penekanan pada kata dan ungkapan kunci, cara menuliskannya dengan garis
yang lebih tebal, atau dengan tinta merah. Kata kunci berupa kutipan berbahasa
Arab, terutama dari Quran , nama dan gelar kerajaan, atau yang lazim, “kata tanda
baca”. Tanda baca jarang ada pada naskah Jawi, namun jeda, bagian baru, dan
perubahan pokok bahasan pada naskah ditandai dengan kata yang berfungsi
menandai titilk balik. Pada saat yang sama bukan tidak biasa bila orang
membalik halaman berhias pertama naskah dan menemukan sisanya hanya teks biasa.
Prosa cerita mungkin akan mengisi halaman demi halaman penuh dengan naskah.,
kadang-kadang naskah digarisi dengan tinta berwarna, kadang-kadang tidak. Tidak
ada judul, tidak ada halaman judul, tidak ada judul bab, tidak ada alinea,
tidak saatupun dari perlengkapan yang membuat buku modern mudah terlihat.
Bahkan Kolofon Mawa’iz al Badi’ merupakan contoh semacam itu. Awalnya ada
ditengah baris keempat. Pada kebanyakan dari mereka, bahkan garis tepi pada
halaman pembukanya dibiarkan kosong.
Gambar tak lazim pada naskah Jawi-Melayu,
mencerminkan batasan Islam dalam melukiskan makhluk hidup. Jarang ada penulis
Jawi yang melanggarnya, dan naskah Melayu bertahan dengan ragam hias bangun
berulang dan alamiah. Mungkin karena itulah bukan kebetulan naskah jawi langka
yang memuat gambar seperti dibuat di Jawa, karenanya berada dibawah pengaruh
tradisi naskah jawa lebih menganjurkan kebebasan mutlak. Boleh dikatakan di
dunia Melayu, naskah selalu kalah penting daripada teks. Bahkan ketika naskah
disimpan untuk keperluan upacara, sebagai harta warisan, teksnyalah, bukan
naskah fisiknya, yang dihargai. Naskah tempat untuk teks.[4]
Jika membahas tentang sastra
Melayu pada dasarnya semua tulisan dalam bahasa Melayu selalu terfokus pada
karya-karya sastra dalam bahasa Melayu-Rendah. Alasannya karena diketahui
bahasa ini ternyata jauh lebih tua dari kesusastraan “resmi” kita dalam bahasa
Melayu Tinggi atau Melayu Riau dan dalam bahasa Indonesia. Namun mengenai
kedudukan dari bahasa ini sendiri masih dipertanyakan, apakah ia dianggap
sebagai kesusastraan resmi atau sejajar dengan kedudukan keusastraan Indonesia
dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali Madura, atau Batak.
Karya Prosa Melayu merupakan
bagian hasil karya sastra melayu yang asli, banyak yang diadopsi dari sastra
bangsa-bangsa yang belum islam, berisi mengenai terjemahan atau Salinan
naskah-naskah yang disusun dalam Bahasa sansekerta, dalam salah satu Bahasa
yang hidup di hisdostan atau Bahasa siam
dan sebagainya. Dalam naskah-naskah ini, sepanjang isinya bukan seluruhnya
bersifat romantik tentu saja dari mitologi india serta ajarannya tentang para
dewa memainkan peranan utama. Naskah yang diperoleh dari bangsa-bangsa Islam,
khususnya bangsa arab dan Persia, yang di dalamnya terdapat
tafsiran al-qur’an yang diberikan oleh alim ulama menjadi dasar segala sesuatu.
Tidak hanya pada buku prosa dan sajak, tetapi juga pada korespondensi surat menyurat.
Sastra Melayu rendah sebenarnya
sudah masuk sejarah. Bahasa itu sudah milik masa lampau. Bahasa itu sudah tidak
hidup sejak tahun 1966. Membaca sastra dalam bahasa Melayu-Rendah seperti
membaca sastra Jawa Kuno, misalnya, sebagian besar kosakatanya dapat kita pahami namun memang ada berpuluh
atau beratus kata-kata yang harus dijelaskan artinya, karena kata-kata itu
sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Namun tak dapat disangkal bahwa manusia
Indonesia sekarang ini tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk membaca
karya-karya.[5]
Bahasa melayu rendah dengan
demikian adalah Bahasa baru, yang bersifat gado-gado yang terbentuk akibat
tumbuhnya kota-kota niaga di Indonesia sejak abad ke-17. Bahasa inilah yang mau
tidak mau harus dipergunakan oleh pers (dan juga kesusastraan), kalau jumlah
pembaca menjadi sasarannya, sebab akan difahami oleh seluruh lapisan masyarakat
kota juga orang-orang belanda sendiri yang nati dengan Bahasa ini. Apabila
urusan pers, sastra dan penerbitan lain dihubungkan dengan urusan dagang, maka
Bahasa melayu rendah merupakan Bahasa bernilai ekonomis.
Dalam kurun abad ke-19 sampai
menjelang tahun 1920 bahasa ini dengan sadar dinamai Bahasa Melayu-Rendah baik
dalam penerbit Cina, Indo maupun pribumi. Namun dengan gencarnya politik
bahasa’’ dari pemerintah kolonial Sejak dibentuknya volkslectuur pada tahun
1908 untuk memerangi bacaan liar’’ dalam Bahasa melayu rendah, maka di
lingkungan kaum terdidik pribumi lebih cenderung mempengaruhi Bahasa
melayu-riau. Akibatnya Bahasa melayu rendah semakin terbatas dipergunakan oleh
di lingkungan masyarakat Cina, terutama dalam pers serta kesusastraan mereka,
sehingga Bahasa ini kemudian memperoleh sebutan Melajoe-Tionghoa atau
Melajoe-Cina yang masih terus mewarisi ‘’kerusakan bahasa’’ dari masa Melayu
Rendah.[6]
SASTRA MELAYU-CINA (TIONGHOA)
Pada tahun 1880 masih berkembang bentuk-bentuk
syair dalam bahasa Melayu-Rendah yang berisi rekaman peristiwa-peristiwa
penting sezaman atau ungkapan perasaan pengarangnya dalam hal asmara. Sastra
Melayu Rendah digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bahasa melayu yang
ditulis oleh peranakan Tionghoa. Mereka adalah masyarakat yang mengalami
keterputusan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.
Namun pada permulannya sampai kira-kira tahun 1922, karya sastra Melayu-Rendah
juga ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indonesia. Novel pertama dalam bahasa
ini, yakni Lawah-lawah Merah,dikerjakan oleh H.D. Wiggers ayah pengarang
Melayu-Rendah yang terkenal F.F. Wiggers F.D.J. Pangemanann.[7]
Berdasarkan sejarah asal-usulnya,
terdapat empat golongan Tionghoa yang mempergunakan bahasa cina, yaitu :
Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Katon. Mereka semua berasal dari Cina Selatan,
Golongan Tionghoa yang paling lama bermigrasi ke Indonesia adalah orang-orang
Hokkian, yaitu abad ke 16.Sehingga adaptasi budaya mereka terhadap Indonesia paling
kuat.
Sebab-sebab sastra golongan
Tionghoa di Indonesia yang menggunakan
bahasa Melayu-Rendah muncul di Jawa dari lingkungan kaum Hokkian, yaitu:
Orang-orang Hokkian adalah golongan Tionghoa yang paling lama menetap di Indonesia,
Sebagian besar orang-orang Tionghoa di Jawa tinggal dikota-kota besar
Orang-orang Hokkian di Jawa kebanyakan pedagang sejak abad ke16, sehingga
mereka merupakan golongan“borjuis” yang memiliki cukup modal untuk mengembangkan
pendidikan.
Jadi sebab utama munculnya sastra Melayu-Tionghoa
adalah kebutuhan budaya kaum peranakan yang rata-rata dari kelas pedagang dan
pengusaha itu,suatu kelas sosial yang dekat dengan keperluan pendidikan dan
bacaan karena mereka tidak menguasai bahasa cina lagi.
Munculnya pers Melayu Rendah dalam tulisan
latin dan Arab terjadi pada tahun 1858 di Batavia dengan surat kabar yang bernama Soerat Chabar
Batawi’s yang terbit hari Sabtu tahun 1920 Istilah yang dipakai adalah
Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina, tahun 1922 Karya sastra Melayu Rendah ditulis
oleh orang-orang Belanda dan Indonesia, Setelah kemerdekaan bahasa Melayu–Rendah
hilang (tidak digunakan lagi), tahun 1966 Bahasa Melayu-Rendah tidak hidup lagi
(punah) adapun karya sastra modern kita adalah “ Azab dan Sengsara Seorang
Gadis” pada tahun 1919 oleh Merari dan Karya sastra tertua terbit sekitar tahun
1875 yakni terjemahan tebal berjudul Lawah-Lawah Merah dari karya Pont
Jest, seorang pengarang Perancis, dengan judul yang sama. Kalau
ditilik dari usianya, maka sastra yang mempergunakan bahasa Melayu-Rendah ini
telah berusia 111 tahun.[8]
Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang umum yang berlaku di zamannya (istilah
umum).
Seperti yang terlihat dalam data
pers dan sastra dalam Bahasa Melayu, sejak pertengahan abad 19 sampai tahun
1920-an, semua karya sastra, baik yang ditulis oleh orang Indo, Cina dan
pribumi, mempergunakan Bahasa ini. Hal ini dapat difahami karena kaum peranakan
cina tidak satu bangku dalam pendidikan formal di zaman kolonial, sehingga
penerbitan Bahasa melayu ini tidak menyentuh mereka. Bentuk-bentuk sastra
modern yang berasal dari kebudayaan barat tidak begitu saja muncul dan
diterima oleh masyarakat.
Bentuk-bentuk sastra modern yang
berasal dari kebudayaan Barat tidak begitu saja muncul dan diterima oleh
masyarakat baru di Indonesia. Munculnya kesusastraan modern Indonesia
disebabkan oleh kesiapan masyarakat Indonesia sendiri untuk menerimanya. Jauh
sebelum munculnya sastra terjemahan dalam tahun 1870-an, terlebih dahulu
dikenal adanya masa penceritaan kembali” kisah-kisah lama yang telah populer
dikalangan rakyat, baik berupa cerita lokal maupun dari khazanah sastra Arab.
Kenyataan inilah yang terlihat pada pers berbahasa Melayu-Rendah dan berbahasa
Jawa pada tahun 1850-an, seperti Poespitamantjawarna (1855) dan Bintang Oetara
(1856-1857). Penceritaan kembali dalam bentuk prosa modern ini sesuai dengan
gaya bahasa dan gaya penceritaan jamannya.
Data tertua akan adanya “embrio”
kesusastraan baru ini terdapat dalam bahasa Jawa yakni terbitnya karya T.
Roorda pada tahun 1844 berjudul Raja Pirangon (Gravenhage, 197 halaman).
Ternyata karya penceritaan kembali ini bersifat keagamaan, tentang kisah
Fir’aun. Pada tahun 1853 disusul dengan karya anonim, Angling Darma (212
halaman). Sedangkan munculnya penceritaan kembali kisah-kisah populer di
lingkungan rakyat (sejarah lisan) dalam bahasa Melayu-Rendah baru muncul pada
taahun 1859, yakni karya JRPF Gonggrijp, Bagaej-Bagaej Tjerita (Batavia).
Kemudian disusul oleh karya JGF Riedel, Inilah Kitab Taman Wandji Namanya, Jah
itoe Babrapa Hikayat Orang-orang yang Ampoenya Tjerita (Udjong Pandang, 1862).
“Penceritaan kembali” inilah yang merupakan awal perkenalan menuju
bentuk-bentuk kesusastraan baru. Dalam bahasa Melayu-Rendah “penceritaan
kembali” ini berangsur-angsur lenyap dan digantikan periode “terjemahan”.
Pada tahun 1875, masyarakat
pembaca Indonesia telah disuguhi karya-karya sastra modern Barat dalam bentuk
terjemahan. Sesuai dengan tingkat apresiasi pembacanya, maka pilihan
novel-novel Barat yang diterjemahkan kebanyakan bersifat bacaan remaja atau
novel-novel Jules Verne (Hikajat Fileas Fogg, Michael strogoff), Alaksander
Dumas (Monte Cristoi), buku-buku serial Tarzan, buku-buku Sherlock Holmes.
Kegiatan terjemahan novel-novel
Barat dalam bahasa Melayu-Rendah yang sudah dimulai pada dasawarsa 1870-an oleh
orang-orang Belanda dan Indo, baru sekitar tahun 1880-an dimasuki oleh
orang-orang peranakan Cina dan baru pada tahun 1890-an terdapat penerjemah
Indonesia sendiri. Penerjemah dan penyadur peranakan Cina yang termasyhur ialah
Lie Kim Hok. Diantara novel yang telah ia terjemahkan antara lain Hikajat
Kapitien Flamberge dari karangan Paul Sauniere dan Seri Rocambole dari karangan
Ponson du Terrail. Sedangkan penerjemah dari lingkungan pribumi tercatat yang
pertama pada tahun 1893, yaitu RMDR alias Soeriodarmo dengan karyanya Hikajat
Tjeritra Kasih Sajang. Kegiatan penerjemahan dari lingkungan pribumi ini kelak
akan subur lewat penerbitan pemerintah kolonial, Balai Poestaka.
Bentuk pantun dan syair juga
populer pada masa itu, digunakan untuk menyatakan perasaan dan pikiran
pengarangnya sejak tahun 1870-an, baik dilingkungan Belanda maupun Cina. Sifat
modern dari karya-karya syair dan pantun ini adalah pada “isi” sastranya
menyangkut peristiwa aktual zamannya. Pada tahun 1870 telah diterbitkan sebuah buku mungil
berjudul Sair Kedatangan Sri Maharadja Siam di Betawi dan pada tahun berikutnya
Grafland menulis buku Bahuwa ini Suling ija itju Barapa Segala Orang-orang
Moeda di Tanah Minahasa (Batavia, 1871). Penulis-penulis pantun dan syair
kebanyakan orang-oraang Belanda daan Cina.
Dalam bidang novel atau novelet
dilaporkan karya RMHJ Kartawinata, telegrafis SS Preangan, Hikajat Ali Saleh
Anak dari Ali Sarin, Ija itoe Satoe Anak Miskin sampe bisa Menaik tahta
Kerajaan Besar yang amat Termulia (Overgedrukt uit de Courant de Minggoe, 1897
no.35). dalam bidang Novel antara tahun 1893-1895 muncul karya-karya sastra
modern yang pertama. Sejak itu berkembang kesusastraan modern dalam bahasa
Melayu Rendah yang ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indo yang telah aktif
bergerak dalam bidang pers dan sastra terjemahan pada dasawarsa-dasawarsa
1850-an sampai 1880-an, daan pada tahun 1890-an telah menghasilkan karya-karya
sastra modern sendiri dengan sumbernya peristiwa-peristiwa di Indonesia.
Karya terakhir dari pengarang
Indonesia dalam bahasa Melayu-Rendah ialah Hikajat Kadiroen karangan Semaun
(1924) dan karya S. Goenawan, Regent Nekad (1924) yang berisi kisah percintaan
tukang kayu dengan putri regent dengan seorang yang terancam batal karena dihalang-halangi
orang tua dan sang putri nekad mau bunnuh diri akhirnya menikah.
Pada tahun 1917 badan Volkslectuur
diubah menjadi Balai Pustaka. Dan dari penerbitan ini akan muncul kesusastraan
modern “kedua”yang sampai sekarang diakui sebagai cikal bakal kesusastraan
modern, Sunda modern maupun Indonesia modern. Dengan demikian, jelas bahwa
kesusastraan Balai Pustaka digerakkan oleh pemerintah kolonial lewat jalur
pendidikan. Tidak mengherankan kalau kesusastraan pendidikan
formal maka terbitan karyasastranya tidak lepas dari sensor dan syarat-syarat
pemerintahan.politik pendidikan itu rupanya amat berhasil dan kesusastraan
dalam bahasa melayu rendah yang dahulu ditulis oleh golongan Belanda, Indo,
Cina, dan Indonesia sendiri, dan pada tahun 1920-an hanya ditulis oleh golongan
Cina, dinamai sebagai kesuastraan “Melayu-Cina”. Novel Terjemahan, Lawah-lawah
Merah, Novel tahun 1875
SASTRA MELAYU PRIBUMI
Hadirnya terjemahan novel-novel
barat dalam bahasa Melayu-Rendah ini dibaca oleh masyarakat pribumi maupun peranakan
Cina di kota-kota di Indonesia (dan juga orang-orang Indo-Belanda). Ini berarti
bahwa penduduk pribumi telah dapat menerima kehadiran bentuk-bentuk sastra
baru.
Pada zaman kolonial, dikenal
istilah “Bacaan Liar” dan “Sekolah Liar” tentu saja predikat “Liar” itu muncul
dari kalangan politik penguasa Hindia-Belanda zaman itu.[9]
Sekolah liar sebenarnya bukan sekolahnya yang liar, tetapi lembaga pendidikan
yang dikelola oleh pihak swasta pribumi yang kebanyakan kaum pergerakan.
Disebut liar kkarena sekolah-sekolah itu menanamkan tumbuhnya rasa kebangsaan
pada murid-muridnya. Jadi unsur “nasionalisme” dalam sekolah-sekolah itu yang
menyebabkan disebut liar. Sebab setiap pergerakan yang oposan pada pemerintah,
waktu itu dianggap berbahaya.
Bacaan liar pun mengandung arti
yang sama. Bacaan itu hasil penerbitan pihak swasta, yang kebanyakan milik
orang Indo-Belanda atau Cina. Penerbitan itu dimulai sekitar tahun 1890-an.
Penulis-penulisnya orang Indo-Belanda dan orang Indonesia sendiri. Bacaan liar
ini berbentu novel-novel pendek yang diangkat dari peristiwa-peristiwa yang
terkenal diberbagai surat kabar.
Bacaan liar sebenarnya hanya
merupakan penerbitan dagang dan bukan niat kesusastraan. Tetapi nilai sastranya
dibuat begitu rupa menarik, sehingga pembaca ikut terjun dalam “pengalaman
estetis” suatu peristiwa nyata. Meskipun dengan sendirinya ditambah atau
dikurangi disana-sini, dicampur imajinasinya sendiri.
Beberapa novel dengan niat dagang
tadi secara “tidak sengaja” dapat membahayakan anak negeri” untuk melawan
Belanda. Misalnya novel Nyai Paina, yang menceritakan pengorbanan seorang gadis
cantik anak juru keuangan sebuah pabrik gula. Tuan pabrik adalah Belanda yang
bertubuh raksasa. Ia suatu sore darei
teras rumahnya melihat seorang gadis
melintas jalan di muka rumahnya. Segera ia jatuh hati, maka di carilah
informasi, siapa anak gadis itu. Dan ternyata anak pegawainya sendiri, juru
keuangan. Maka akal liciktuan pabrik kreatif bekerja: seluruh uang gaji pegawai
yang menjadi tanggu juru keuangan ia sembunyikan. Karna juru keuangan tidak
bisa mengembalikan, maka tuan pabrik minta di gantikan dengan anak
gadisnya.tentu saja mereka menolak. Tetapi akhirnya mau membebasakan derita
ayahnya. Ia menyamgupi di ambil sebagai nyai oleh tuann pabrik. Tetapi sebelum
dikawin, si gadis painah, sengaja mencampurkan dirinya merawat orang-orang desa
yang kenah cacar. Beberapa bulan setelah ia di ambil sebagai nyai, painah sakit
cacar yang segera menular ke tuan pabri. Tauan pabrik akhirnya meninggal, dan
painah selamat, meskipun mukanya bopeng-bopeng.
Cerita keberanian Painah untuk
‘’membunuh’’ Bbelanda inilah yang diawatirkan pemerintah dapat ‘’merusak
ketertiban negri’’. Juga novel Rossina H.F.R. Kommer berisi cerita
serupa.
SASTRA MELAYU-INDO BELANDA
Yang dimaksudkan dengan sastra
Hindia-Belanda disini adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang
berpokok pada kehidupan di negeri Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang
Belanda terutama dan oleh orang-orang indo, baik yang keturunan Belanda atau
keturunan bangsa Eropa lainnya. Ada juga orang Indonesia yang karangannya masuk
dimasukkan ke dalam sastra melayu Hindia-Belanda, seperti Soewarsih
Djojopoespito dan Noto Soeroto, tetapi karya-karya mereka tidak berada ditengah
arus pokok perkembangan sastra itu.[10]
Sejak permulaan usaha penjajahan
bangsa Belanda, di tanah air kita, pada permulaan abad ke 17, sampai beberapa
tahun sesudah pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia pada tahun 1949
telah berpuluh-puluh karangan ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indo itu
dalam berbagai ragam, berupa buku harian kapten kapal, catatan perjalanan ke
daerah-daerah pedalaman, surat-surat kenangan, selebaran politik, uraian
pengamatan keadaan setempat, serta perenungan mengenai alam dan masyarakat di
wilayah jajahan Hindia-Belanda. Disamping itu terdapat pula karya-karya dalam
bentuk roman, cerita pendek, sketsa, sajak dan lakon sandiwara,
karangan-karangan yang bersifat khusus sastra, yang didalam bahasa Belanda
dikenal sebagai “Indische Belletrie”, penamaan yang dapat dinamakan dengan
“Sastra Hindia Belanda”.[11]
Golongan yang tertinggi ketika itu
adalah masyarakat belanda yang menurut Robert van Niel, pada tahun 1900
golongan ini berjumlah 70.000 yang 75% yang terdiri dari golongan Indo. Di
bawah itu terdapat golongan ‘’Timur Asia’’ yang terdiri dari orang Cina, Timur
Tengah, India. Dan yang paling bawaah golongan Bumiputra yang terdiri dari
masyarakat Indonesia.
Khusus mengenai golongan Indo ini
terjaring informasi dari van Niel dan Achmad Adam (Malaysia) yang menimbulan
persoalan kapan, siapa saja dan dengan cara bagaimana kaum Indo ini merintis
tumbuhnya sastra modern di Indonesia. Dikatakan bahwa kaum Indo merupakan kaum
yang dilahirkan oleh ibu-pribumi dan ayah Belanda.tetapi disebut juga bahwa
kaum Indo termasuk mereka yang berayah-ibu belanda tetapi dilahirkan Indonesia.
Namun penggolongan terakhir ini kiranya terjadi setelah Perang Dunia I, yani
etika banyak pegawai Hindi-Belanda yang membawa istri mereka yang Belanda ke
Indonesia. Sebelum itu bahkan sejak jaman Jan Pieterzoon Coen (1620-an) kaum
lelaki Belanda banyak yang mengambil istri atai nyai wanita-wanitapribumi. Hadirnya wanita-wanita Belanda di Indonesia
pada zaman Coen merupakan sebuah eksperimen yang ternyata kelak gagal. Waktu
itu di coba didatangkan gadis-gadis yatim piatu dari srama-asrana mereka di
negri Belanda, namun mereka bernasib kurang bagus di Batavia karna jumlah pria
jauh lebih banyak. Lebih-lebih setelah keponaka Coen sendiri menjadi ‘’korban’’
dari ‘’kehausan’’ kaum pria Bbelanda ini.
Karna kaum Indo dilahirkan di
Indonesia dalam lingkungan budaya campuran dengan pemisah golongan yang
tegas- maka mereka menganal baik dua
budaya tersebut. Mereka mampu berbahasa Belanda dan berbaha pribumi atau bahasa
Melayu-Rendah. Dan di sinilah pertanyaan tersebut muncul. Dari data sementara diketahui
bahwa kaum Indo mulai atif dalam kegiatan pers Melayu-Rendah pada desawarsa
1870-an, begitupula dalam penulisan sastra. Dan perana mereka ini nampa serut
pada desawarsa 1910-an.
Karya-karya sastra, baik dalam
bahasa Belanda maupun dalam bahasa sastra Melayu-Rendah, yang ditulis golongan
Indo terbelah dalam dua golongan itu merupakan faktor penting dalam
penyumbangan kemunculan sastra modern di
Indonesia. Bahkan mereka juga mengenal golongan masyarakat Cina.
Bukan hanya dalam kesastraan peran
mereka yang pantas di catat, tetapi juga dalam bidang-bidang seni yang lain,
seperti seni lukis, seni musyik, seni teater, seni film. Sebab kaum Indo
sebenarnaya, yakni mengenal budaya Barat dari ayahnya dan budaya pribumi dari
ibunya. Inilah yang saya maksud dengan sastra Indo-Belanda itu, dalam arti
karya-karya satra baik dalam bahasa Belanda maupun Melayu-Rendah atau bahasa
daerah yang ditulis oleh kaum Indi tempo doeloe.
PENUTUP
Kesusastraan adalah salah satu
cabang kesenian yang mempergunakan material seni bahasa. Berdasarkan bahasa
itulah kita mengklasifikasikan kesusastraan. Memang tak dapat dipungkiri adanya
perluasan bahasa dan perpindahan sosial suatu pengguna bahasa ditempat lain,
sehingga klasifikasi sastra beralih dari bahasa ke kelompok sosial yang
dinamakan bangsa.
Karena bahasa ini dipakai sebagai
bahasa pergaulan di luar rumah dan kelompok oleh berbagai macam kelompok asal,
maka terjadilah berbagai bahasa Melayu-Rendah dengan berbagai dialek. Kelompok
masyarakat Belanda akan mempergunakan bahasa ini sesuai dengan sifat bahasa
mereka, begitu juga dari kelompok Cina dan Pribumi, sehingga sastra
melayu-Rendah terbagi kedalam tiga kategori yang telah dijelaskan sebelumnya dengan
berbagai bentuk karya sastra diantaranya Novel terjemahan, Cerpen, drama dan
Teater, dan Novel (yang dimodifikasi sesuai bahasa penulisnya)
DAFTAR PUSTAKA
Harapan, Anwarudin, Sejarah Sastra dan Budaya Betawi, 2006 Asosiasi
Pelatih Pengembangan Masyarakat, Jakarta.
Pradotokusumo, Partini Sardjono Pengkajian Sastra, 2005 Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Bahasa dan sastra, Tradisi Tulis Melayu. Indonesia
heritage jilid 10. Olehglorier International
Sumarjdo, Jakob, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, 2004 Galang
Press, Yogyakarta,
Sastrowardoyo Subagio, Sastra Hindia Belanda dan Kita, 1990
Balai Pustaka, Jakarta
[1] Anwarudin Harapan, Sejarah Sastra dan Budaya Betawi, Asosiasi
Pelatih Pengembangan Masyarakat, Jakarta 2006, hal. 104
[2] Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta 2005 hal.1
[3] Bahasa dan sastra, tradisi tulis melayu.Indonesia
heritage jilid 10. Olehglorier international, hal. 22-23
[4] Ibid., hal. 23
[5] Jakob Sumarjdo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, Galang
Press, Yogyakarta, hal 3
[6] Ibid., hal 22
[7] Ibid., 23
[8] Ibid., hal 2
[9] Ibid., hal. 267
[10] Sastrowardoyo Subagio, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai
Pustaka, 1990, Jakarta, hal. 11
[11] Ibid., hal. 11
0 komentar:
Posting Komentar